Selasa, 26 April 2011

Jika engkau belum mempunyai ilmu, hanyalah prasangka,

maka milikilah prasangka yang baik tentang Tuhan.

Begitulah caranya!

Jika engkau hanya mampu merangkak,

maka merangkaklah kepadaNya!

Jika engkau belum mampu berdoa dengan khusyuk,

maka tetaplah persembahkan doamu

yang kering, munafik dan tanpa keyakinan;

karena Tuhan, dengan rahmatNya

akan tetap menerima mata uang palsumu!

Jika engkau masih mempunyai

seratus keraguan mengenai Tuhan,

maka kurangilah menjadi sembilan puluh sembilan saja.

Begitulah caranya!

Wahai pejalan!

Biarpun telah seratus kali engkau ingkar janji,

ayolah datang, dan datanglah lagi!

Karena Tuhan telah berfirman:

“Ketika engkau melambung ke angkasa

ataupun terpuruk ke dalam jurang,

ingatlah kepadaKu,

karena Akulah jalan itu.”

Senin, 25 April 2011

Pandangan Islam Terhadap Wanita KarirPDFCetakE-mail

Allah SWT menciptakan laki-laki dan perempuan di dunia ini adalah untuk saling melengkapi satu sama lain, hingga mereka berdua dapat hidup di dunia ini dengan harmonis saling kasih dan saling sayang. Sikap saling melengkapi merupakan sikap yang harus dimiliki satu sama lain karena yang satu berbeda dengan yang lain, laki-laki berbeda dengan perempuan.

Hal tersebut tidak dapat dipungkiri lagi baik secara biologis atau secara psikologis. Secara biologis organ tubuh laki-laki berbeda dengan organ tubuh perempuan, dimana Allah menciptakan seorang laki-laki dengan bertubuh kekar dan lebih kuat dibanding wanita yang telah diciptakan dengan postur tubuh yang lemah dan sensitif. Dari segi psikologis juga Allah telah menjadikan wanita dengan tabiat yang sensitif dan lebih mendahulukan perasa’an dan hatinya dari pada akal dan pikirannya, berbeda dengan laki-laki yang selalu berpikir rasional, dan lebih mendahulukan akal dan pikirannya dari pada perasaan. Perbedaan antara satu dengan yang lain ini adalah sebuah fitrah yang merupakan suatu hal yang wajar.

Jika fitrah wanita adalah bersifat lembut, penuh dengan perasaan, mudah merasa kasihan, maka tugas yang paling tepat yang sesuai dengan tabiatnya adalah merawat anak-anaknya, karena hal tersebut membutuhkan kelembutan kesabaran dan kasih sayang. Begitu pula mendidik mereka sehingga mereka menjadi generasi yang unggul dan bisa mengangkat kalimat “ Lailaha Illallah “ setinggi-tingginya, karena ibulah yang memiliki banyak waktu untuk menemani mereka, lain dengan ayah yang sebagian besar waktunya berada di luar membanting tulang untuk mencari nafkah. Rasulullah SAW bersabda :

كلكم راع وكلكم مسؤول عن رعيته ، فالمرأة راعية في بيت زوجها ومسؤول عن رعيتها

“Kalian semua adalah pemimpin, dan seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpin”.
Selain itu Allah SWT juga berfirman dalam sebuah ayat al qur’an:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.

Dari ayat diatas bisa kita ambil kesimpulan bahwa diantara tugas asli wanita juga adalah membahagiakan suami dan menentramkannya. Menjaga hartanya dan menggunakannya sesuai dengan kebutuhan keluarganya. Merawat rumahnya sehingga rumahnya bisa menjadi surga bagi suami dan anak-anaknya. Jika saja dia benar-benar mampu menjaga keluarganya, menentramkan suaminya, mendidik anak-anaknya dengan pendidikan islam yang benar, dengan penuh kejujuran dan keikhlasan karena ingin memperoleh ridho Allah SWT, maka keluarganyapun akan menjadi keluarga yang harmonis, penuh dengan cinta dan kasih sayang, sehingga keluarganya layak disebut sebagai keluarga yang sakinah mawaddah wa rohmah.

Salah satu keistimewa’an Islam dan juga bukti diangkatnya derajat wanita serta kemulia’annya adalah agama kita ini tidak pernah sama sekali membebani atau memerintahkan wanita untuk mencari nafkah atau bekerja di luar rumah. Karena dalam keadaan apapun dia sudah dinafkahi oleh walinya, ketika ia masih singgel (belum menikah), ayahnya lah yang berkewajiban untuk menafkahinya, jika ayahnya tidak mampu atau sudah tidak punya ayah lagi, maka kakaknya lah yang wajib menafkahi, ketika kakak laki-lakinya tidak mampu atau tidak punya kakak maka kerabatnya yang lain lah yang wajib menafkahi, jika tidak punya kerabat maka uang baitul mal lah nafakahnya.

Setelah kita tahu bahwa tugas utamaya adalah dirumah, lalu apakah boleh wanita itu bekerja di luar rumah atau menjadi wanita karir untuk mencari nafkah? Islam tidak menyuruhnya untuk bekerja juga tidak melarangnya, akan tetapi Islam memperbolehkan dia untuk bekerja ketika memang sudah tidak ada sama sekali orang yang menafkahinya, dan bekerja adalah jalan satu-satunya agar dia bisa tetap hidup dan juga bisa menghidupi anak-anaknya. Karena keada’an tersebut adalah keada’adan darurat, sedangkan syari’at islam mempunyai qaidah fiqhiyah. Disebutkan:

"الضرورات تبيح المحظورات"

“Keada’an darurat membolehkan hal-hal yangtidak dibolehkan (haram)”

Jika kita lihat kembali sejarah Rasulullah Saw maka kita akan melihat banyak sekali tokoh-tokoh sahabat wanita yang juga bekerja baik di bidang perdagangan atau di bidang yang lainnya. Kita lihat istri Rasulullah Saw sendiri yaitu Sayidah Khadijah r.a beliyau adalah orang yang sangat terkenal sekali dalam keahlian berdagang, bahkan beliyau adalah wanita terkaya di Makkah pada zaman itu. Diantaranya juga sayidah Asma’ binti Abu bakar r.a. Beliyau juga bekerja diladang suaminya Zubair ibnu Awam dan mengangkat biji korma dari ladang menuju rumahnya. Padahal jarak antara ladang dengan rumahnya sangat jauh sekali. Dan masih banyak lagi sahabat wanita yang lainnya yang ikut andil dalam bekerja mencari nafkah.
Perlu kita ingat bahwa dibolehkannya untuk menjadi wanita karir atau bekerja tersebut masih terkait dengan syarat-syarat yang ditentukan Syari’at islam dan para ulama’ menurut nash-nash Al qur’an dan Hadist serta Maqashid Asysyari’ah. Syarat-syarat tersebut adalah:

1.Harus mendapat izin dari wali atau suaminya.

Jika saja seorang wanita belum menikah dan masih punya wali seperti ayah atau kakak atau yang lainnya, maka dia harus minta izin terlebih dahulu kepada ayahnya. Jika dia sudah menikah dan punya suami maka dia harus minta izin dulu ke suaminya. Jika saja suaminya melarangnya untuk bekerja sedangkan dia sudah diberi nafaqah oleh suaminya, maka dia tidak boleh bekerja keluar rumah. Jika saja memang suaminya melarangnya sedangkan dia tidak diberi nafkah oleh suami maka dia boleh untuk keluar tanpa seizin suaminya untuk bekerja mencari nafkah. Karena hak suami untuk melarang istri keluar rumah adalah ketika suami memberi nafkah kepadanya.

2.Tetap menjaga penampilan.

Yaitu dengan tetap menggunakan pakaian muslimah yang telah Allah Wajibkan kepadanya. Memakai kerudung dan menutup seluruh tubuhnya dengan pakaian yang tidak mensifati postur dan bentuk tubuhnya, dan hendaklah menghindari pakaian yang terlalu sempit karena hal tersebut bisa mengundang birahi lawan jenisnya. Rasulullah telah bersabda:

« صنفان من أهل النار لم أرهما بعد ، قوم معهم سياط كأذناب البقر يضربون بها الناس ، ونساء كاسيات عاريات مميلات مائلات ، رؤسهن كأسنمة البخت المائلة لا يدخلن الجنة ولا يجدن ريحها »

“Dua golongan yang termasuk ahli neraka yang belum pernah aku lihat: sebuah kaum yang mempunyai pecut/cemeti yang menyerupai ekor sapi, dengan itu mereka memukuli manusia yang lain, dan perempuan yang berpakaian tetapi dia telanjang, … mereka tidak akan masuk surga dan juga tidak akan pernah mencium bau surga” .

Sedangkan yang dimaksud dengan berpakaian akan tetapi telanjang adalah seorang wanita yang memakai pakain yang terlalu sempit sehingga semua bentuk tubuhnya terlihat.

3. Menghindari semaksimal mungkin dari percampuran antara laki-laki dan perempuan.

Jika saja memang dalam keada’an darurat wanita harus bekerja maka kendaklah dia bekerja ditempat yang tidak ada percampuran antara laki-laki dan perempuan. Misalnya menjadi guru di madrasah dimana di situ dipisah antara kantor laki-laki dan perempuan, atau pekerja’an lain yang rata-rata pekerjanya adalah para wanita. Rasulullah SAW telah bersabda:

لا يخلون رجل بامرأة إلا كان الشيطان ثالثهم

“Tidaklah laki-laki dan perempuan berdu’an kecuali syetan yang menjadi ketiganya”.
Dan seandainya dia tidak menemukan pekejaan yang tidak ada percampuran antara laki-laki dan perempuan maka hendaklah dia menjaga diri, menjaga penampilan, menjaga tingkah laku dan sopan santun hingga dia terhindar dari hal-hal negative yang tidak diinginkan.

4.Pekerjaanya sesuai dengan tabiatnya sebagai seorang wanita.
Maka tidak pantas jika seorang wanita bekerja sebagai tukang batu atau kuli bangunan, karena secara biologis dia diciptakan dengan organ tubuh yang lemah dan mempunyai tugas biologis yang berat, seperti menstruasi, hamil, melahirkan, menyusui dan lain sebagainya. Pekerjaan yang bertentangan dengan sifat biologisnya akan membahayakan kesehatan serta kehidupannya sendiri.

5.Pekerjaannya tidak menelantarkan tugas aslinya sebagai ibu dan sebagai istri
Anak adalah penerus bangsa dan juga umat, jika saja pendidikan mereka terganggu maka akan berefek negatif bagi masa depannya dan juga masa depan umat. Karena banyak sekali dampak-dampak negatif yang ditimbulkan dari kurang perhatiannya ibu terhadap anak, diantaranya adalah menyebarnya anak-anak preman, remaja yang kecanduan sabu-sabu, ganja, heroin dan lain sebagainya. Diantara dampak negatif terhadap suami dan keluarganya adalah banyaknya kejadian perceraian, dikarenakan kecemburuan atau yang lainnya. Maka profesi wanita sebagai wanita karir jangan sampai mengorbankan anak dan juga suaminya. Karena itulah tugas aslinya dan juga fitrahnya sebagai wanita muslimah.

Kesimpulannya, Islam tidak melarang wanita untuk bekerja dan mengekangnya dengan hanya mewajibkannya duduk di rumah saja. Akan tetapi syariat kita membolehkan dia untuk bekerja menjadi wanita karir dan mencari nafkah untuk dirinya sendiri atau keluarganya, jika memang keadaan telah mendesaknya untuk bekerja, atau tidak ada hal yang mendesaknya untuk bekerja akan tetapi dalam pekerjaannya terdapat maslahat bagi dirinya sendiri atau untuk umat dan masyarakat, semisal jika pekerjaan tersebut adalah termasuk fardzu kifayah, seperti guru, atau bidan atau dokter atau profesi yang lain, dimana profesi-profesi ini sangat dibutuhkan oleh umat.

Akan tetapi jika memang kita sudah punya wali yang menafkahi kita atau suami yang mencukupi kebutuhan kita maka alangkah baiknya jika kita lebih condong dan lebih perhatian terhadap anak-anak kita, terhadap suami kita serta rumah tangga kita. Dan janganlah sampai kita berfikir bahwa dengan kita menjadi ibu rumah tangga kita akan ketinggalan zaman, terkucilkan dalam kehidupan sosial kita. Justru itu adalah merupakan ladang bagi kita untuk beramal dan mendapatkan ridho Allah SWT. Janganlah anda menganggap bahwa ibadah yang Allah jadikan sebagai tugas utama manusia hidup di dunia ini adalah dengan shalat, puasa, dzikir di masjid saja. Akan tetapi kegiatan kita sehari-haripun bisa menjadi ibadah jika pekerjaan tersebut kita niatkan lillahi ta’ala dan hati kita tetap bersama Allah SWT, yaitu dengan tetap mantap terhadap taqdir Allah SWT dan selalu yakin ahwa semua yang Allah tugaskan kepada kita sebagai seorang muslimah adalah mempunyai hikmah, dan kita akan mendapatkan ridha-Nya jika kita memang benar-benar ikhlas dalam melakukannya.

By: Umi Ali (zumroh s)

Amalan Lebih Baik Kontinu Walaupun Sedikit

Rajin Ibadah Janganlah Sesaat

Wahai saudaraku Perlu diketahui bahwa ibadah tidak semestinya dilakukan hanya sesaat di suatu waktu. Seperti ini bukanlah perilaku yang baik. Para ulama pun sampai mengeluarkan kata-kata pedas terhadap orang yang rajin shalat misalnya- hanya pada bulan Ramadhan saja. Sedangkan pada bulan-bulan lainnya amalan tersebut ditinggalkan. Para ulama kadang mengatakan, Sejelek-jelek orang adalah yang hanya rajin ibadah di bulan Ramadhan saja. Sesungguhnya orang yang sholih adalah orang yang rajin ibadah dan rajin shalat malam sepanjang tahun. Ibadah bukan hanya dilakukan pada bulan Ramadhan, Rajab atau Syaban saja. Sebaik-baik ibadah adalah yang dilakukan sepanjang tahun.

Asy Syibliy pernah ditanya, Bulan manakah yang lebih utama, Rajab ataukah Syaban? Beliau pun menjawab, Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Syabaniyyin. Maksudnya adalah jadilah hamba Rabbaniy yang rajin ibadah di setiap bulan, sepanjang tahun dan jangan hanya beribadah pada bulan Syaban saja. Kami kami juga dapat mengatakan, Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Romadhoniyyin. Maksudnya, beribadahlah secara kontinu (ajeg) sepanjang tahun dan jangan hanya beribadah pada bulan Ramadhan saja.[1]

Begitu pula amalan suri tauladan kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam- adalah amalan yang rutin dan bukan musiman pada waktu atau bulan tertentu. Itulah yang beliau contohkan kepada kita. Alqomah pernah bertanya pada Ummul Mukminin Aisyah mengenai amalan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Apakah beliau mengkhususkan hari-hari tertentu untuk beramal? Aisyah menjawab,

لاَ. كَانَ عَمَلُهُ دِيمَةً

Beliau tidak mengkhususkan waktu tertentu untuk beramal. Amalan beliau adalah amalan yang kontinu (ajeg).[2]

Tanda Diterimanya Suatu Amalan

Saudaraku Perlulah engkau ketahui bahwa tanda diterimanya suatu amalan adalah apabila amalan tersebut membuahkan amalan ketaatan berikutnya. Di antara bentuknya adalah apabila amalan tersebut dilakukan secara kontinu (rutin). Sebaliknya tanda tertolaknya suatu amalan (alias tidak diterima), apabila amalan tersebut malah membuahkan kejelekan setelah itu. Cobalah kita simak ungkapan para ulama yang mendalam ilmunya mengenai hal ini.

Sebagian ulama salaf mengatakan,

مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا، وَمِنْ جَزَاءِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا

Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya dan di antara balasan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya.[3]

Ibnu Rajab menjelaskan hal di atas dengan membawakan perkataan salaf lainnya, Balasan dari amalan kebaikan adalah amalan kebaikan selanjutnya. Barangsiapa melaksanakan kebaikan lalu melanjutkan dengan kebaikan lainnya, maka itu adalah tanda diterimanya amalan yang pertama. Begitu pula barangsiapa yang melaksanakan kebaikan, namun malah dilanjutkan dengan amalan kejelekan, maka ini adalah tanda tertolaknya atau tidak diterimanya amalan kebaikan yang telah dilakukan.[4]

Pentingnya Beramal Kontinu (Rutin), Walaupun Sedikit

Di antara keunggulan suatu amalan dari amalan lainnya adalah amalan yang rutin (kontinu) dilakukan. Amalan yang kontinu walaupun sedikit- itu akan mengungguli amalan yang tidak rutin meskipun jumlahnya banyak-. Amalan inilah yang lebih dicintai oleh Allah Taala. Di antara dasar dari hal ini adalah dalil-dalil berikut.

Dari Aisyah radhiyallahu anha-, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

Amalan yang paling dicintai oleh Allah Taala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit. Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. [5]

Dari Aisyah, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ditanya mengenai amalan apakah yang paling dicintai oleh Allah. Rasul shallallahu alaihi wa sallam menjawab,

أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ

Amalan yang rutin (kontinu), walaupun sedikit.[6]

Alqomah pernah bertanya pada Ummul Mukminin Aisyah, Wahai Ummul Mukminin, bagaimanakah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam beramal? Apakah beliau mengkhususkan hari-hari tertentu untuk beramal? Aisyah menjawab,

لاَ. كَانَ عَمَلُهُ دِيمَةً وَأَيُّكُمْ يَسْتَطِيعُ مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَسْتَطِيعُ

Tidak. Amalan beliau adalah amalan yang kontinu (rutin dilakukan). Siapa saja di antara kalian pasti mampu melakukan yang beliau shallallahu alaihi wa sallam lakukan.[7]

Di antaranya lagi Nabi shallallahu alaihi wa sallam contohkan dalam amalan shalat malam. Pada amalan yang satu ini, beliau menganjurkan agar mencoba untuk merutinkannya. Dari Aisyah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ مِنَ الأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا وَإِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَا دُووِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّ

Wahai sekalian manusia, lakukanlah amalan sesuai dengan kemampuan kalian. Karena Allah tidaklah bosan sampai kalian merasa bosan. (Ketahuilah bahwa) amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang kontinu (ajeg) walaupun sedikit.[8]

Keterangan Ulama Mengenai Amalan yang Kontinu

Mengenai hadits-hadits yang kami kemukakan di atas telah dijelaskan maksudnya oleh ahli ilmu sebagai berikut.

Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, Yang dimaksud dengan hadits tersebut adalah agar kita bisa pertengahan dalam melakukan amalan dan berusaha melakukan suatu amalan sesuai dengan kemampuan. Karena amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang rutin dilakukan walaupun itu sedikit.

Beliau pun menjelaskan, Amalan yang dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah amalan yang terus menerus dilakukan (kontinu). Beliau pun melarang memutuskan amalan dan meninggalkannya begitu saja. Sebagaimana beliau pernah melarang melakukan hal ini pada sahabat Abdullah bin Umar.[9] Yaitu Ibnu Umar dicela karena meninggalkan amalan shalat malam.

Dari Abdullah bin Amr bin Al Ash radhiyallahu anhuma, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata padaku,

يَا عَبْدَ اللَّهِ ، لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ ، كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ

Wahai Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan. Dulu dia biasa mengerjakan shalat malam, namun sekarang dia tidak mengerjakannya lagi. [10]

Para salaf pun mencontohkan dalam beramal agar bisa dikontinukan.Al Qosim bin Muhammad mengatakan bahwa Aisyah ketika melakukan suatu amalan, beliau selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. [11]

Al Hasan Al Bashri mengatakan, Wahai kaum muslimin, rutinlah dalam beramal, rutinlah dalam beramal. Ingatlah! Allah tidaklah menjadikan akhir dari seseorang beramal selain kematiannya.

Beliau rahimahullah juga mengatakan, Jika syaithon melihatmu kontinu dalam melakukan amalan ketaatan, dia pun akan menjauhimu. Namun jika syaithon melihatmu beramal kemudian engkau meninggalkannya setelah itu, malah melakukannya sesekali saja, maka syaithon pun akan semakin tamak untuk menggodamu.[12]

Maka dari penjelasan ini menunjukkan dianjurkannya merutinkan amalan yang biasa dilakukan, jangan sampai ditinggalkan begitu saja dan menunjukkan pula dilarangnya memutuskan suatu amalan meskipun itu amalan yang hukumnya sunnah.

Hikmah Mengapa Mesti Merutinkan Amalan

Pertama, melakukan amalan yang sedikit namun kontinu akan membuat amalan tersebut langgeng, artinya akan terus tetap ada.

An Nawawi rahimahullah mengatakan, Ketahuilah bahwa amalan yang sedikit namun rutin dilakukan, itu lebih baik dari amalan yang banyak namun cuma sesekali saja dilakukan. Ingatlah bahwa amalan sedikit yang rutin dilakukan akan melanggengkan amalan ketaatan, dzikir, pendekatan diri pada Allah, niat dan keikhlasan dalam beramal, juga akan membuat amalan tersebut diterima oleh Sang Kholiq Subhanahu wa Taala. Amalan sedikit yang rutin dilakukan akan memberikan ganjaran yang besar dan berlipat dibandingkan dengan amalan yang sedikit namun sesekali saja dilakukan.[13]

Kedua, amalan yang kontinu akan terus mendapat pahala. Berbeda dengan amalan yang dilakukan sesekali saja meskipun jumlahnya banyak-, maka ganjarannya akan terhenti pada waktu dia beramal. Bayangkan jika amalan tersebut dilakukan terus menerus, maka pahalanya akan terus ada walaupun amalan yang dilakukan sedikit.

Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, Sesungguhnya seorang hamba hanyalah akan diberi balasan sesuai amalan yang ia lakukan. Barangsiapa meninggalkan suatu amalan -bukan karena udzur syari seperti sakit, bersafar, atau dalam keadaan lemah di usia senja-, maka akan terputus darinya pahala dan ganjaran jika ia meninggalkan amalan tersebut.[14] Namun perlu diketahui bahwa apabila seseorang meninggalkan amalan sholih yang biasa dia rutinkan karena alasan sakit, sudah tidak mampu lagi melakukannya, dalam keadaan bersafar atau udzur syari lainnya, maka dia akan tetap memperoleh ganjarannya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

Jika seseorang sakit atau melakukan safar, maka dia akan dicatat melakukan amalan sebagaimana amalan rutin yang dia lakukan ketika mukim (tidak bepergian) dan dalam keadaan sehat.[15]

Ketiga, amalan yang sedikit tetapi kontinu akan mencegah masuknya virus futur (jenuh untuk beramal). Jika seseorang beramal sesekali namun banyak, kadang akan muncul rasa malas dan jenuh. Sebaliknya jika seseorang beramal sedikit namun ajeg (terus menerus), maka rasa malas pun akan hilang dan rasa semangat untuk beramal akan selalu ada. Itulah mengapa kita dianjurkan untuk beramal yang penting kontinu walaupun jumlahnya sedikit. Kadang kita memang mengalami masa semangat dan kadang pula futur (malas) beramal. Sehingga agar amalan kita terus menerus ada pada masa-masa tersebut, maka dianjurkanlah kita beramal yang rutin walaupun itu sedikit.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

وَلِكُلِّ عَمِلٍ شِرَّةٌ ، وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ ، فَمَنْ يَكُنْ فَتْرَتُهُ إِلَى السُّنَّةِ ، فَقَدِ اهْتَدَى ، وَمَنْ يَكُ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ ، فَقَدْ ضَلَّ

Setiap amal itu pasti ada masa semangatnya. Dan setiap masa semangat itu pasti ada masa futur (malasnya). Barangsiapa yang kemalasannya masih dalam sunnah (petunjuk) Nabi shallallahu alaihi wa sallam, maka dia berada dalam petunjuk. Namun barangsiapa yang keluar dari petunjuk tersebut, sungguh dia telah menyimpang.[16]

Apabila seorang hamba berhenti dari amalan rutinnya, malaikat pun akan berhenti membangunkan baginya bangunan di surga disebabkan amalan yang cuma sesaat.Al Hasan Al Bashri mengatakan, Sesungguhnya bangunan di surga dibangun oleh para Malaikat disebabkan amalan dzikir yang terus dilakukan. Apabila seorang hamba mengalami rasa jenuh untuk berdzikir, maka malaikat pun akan berhenti dari pekerjaannya tadi. Lantas malaikat pun mengatakan, Apa yang terjadi padamu, wahai fulan? Sebab malaikat bisa menghentikan pekerjaan mereka karena orang yang berdzikir tadi mengalami kefuturan (kemalasan) dalam beramal.

Oleh karena itu, ingatlah perkataan Ibnu Rajab Al Hambali, Sesungguhnya Allah lebih mencintai amalan yang dilakukan secara kontinu (terus menerus). Allah akan memberi ganjaran pada amalan yang dilakukan secara kontinu berbeda halnya dengan orang yang melakukan amalan sesekali saja.[17]

Apakah Kontinuitas Perlu Ada dalam Setiap Amalan?

Syaikh Ibrahim Ar Ruhailiy hafizhohullah mengatakan, Tidak semua amalan mesti dilakukan secara rutin, perlu kiranya kita melihat pada ajaran dan petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam hal ini.[18]

Untuk mengetahui manakah amalan yang mesti dirutinkan, dapat kita lihat pada tiga jenis amalan berikut.

Pertama, amalan yang bisa dirutinkan ketika mukim (tidak bepergian) dan ketika bersafar.

Contohnya adalah puasa pada ayyamul biid (13, 14, 15 H), shalat sunnah qobliyah shubuh (shalat sunnah fajar), shalat malam (tahajud), dan shalat witir. Amalan-amalan seperti ini tidaklah ditinggalkan meskipun dalam keadaan bersafar.

Ibnu Abbas mengatakan, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selalu berpuasa pada ayyamul biid (13, 14, 15 H) baik dalam keadaan mukim (tidak bersafar) maupun dalam keadaan bersafar.[19]

Ibnul Qayyim mengatakan, Termasuk di antara petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika bersafar adalah mengqoshor shalat fardhu dan tidak mengerjakan shalat sunnah rawatib qobliyah dan badiyah. Yang biasa beliau tetap lakukan adalah mengerjakan shalat sunnah witir dan shalat sunnah qabliyah shubuh. Beliau tidak pernah meninggalkan kedua shalat ini baik ketika bermukim dan ketika bersafar.[20]

Ibnul Qayyim juga mengatakan, Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan qiyamul lail (shalat malam) baik ketika mukim maupun ketika bersafar.[21]

Kedua, amalan yang dirutinkan ketika mukim (tidak bepergian), bukan ketika safar.

Contohnya adalah shalat sunnah rawatib selain shalat sunnah qobliyah shubuh sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim pada perkataan yang telah lewat.

Ketiga, amalan yang kadang dikerjakan pada suatu waktu dan kadang pula ditinggalkan.

Contohnya adalah puasa selain hari Senin dan Kamis. Puasa pada selain dua hari tadi boleh dilakukan kadang-kadang, misalnya saja berpuasa pada hari selasa atau rabu.

Initinya, tidak semua amalan mesti dilakukan secara rutin, itu semua melihat pada ajaran dan petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Penutup

Ketika ajal menjemput, barulah amalan seseorang berakhir. Al Hasan Al Bashri mengatakan, Sesungguhnya Allah Taala tidaklah menjadikan ajal (waktu akhir) untuk amalan seorang mukmin selain kematiannya. Lalu Al Hasan membaca firman Allah,

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al yaqin (yakni ajal). (QS. Al Hijr: 99).[22] Ibnu Abbas, Mujahid dan mayoritas ulama mengatakan bahwa al yaqin adalah kematian. Dinamakan demikian karena kematian itu sesuatu yang diyakini pasti terjadi. Az Zujaaj mengatakan bahwa makna ayat ini adalah sembahlah Allah selamanya. Ahli tafsir lainnya mengatakan, makna ayat tersebut adalah perintah untuk beribadah kepada Allah selamanya, sepanjang hidup.[23]

Ibadah seharusnya tidak ditinggalkan ketika dalam keadaan lapang karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

تَعَرَّفْ إِلَي اللهِ فِى الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِى الشِّدَّةِ

Kenalilah Allah di waktu lapang, niscaya Allah akan mengenalimu ketika susah. [24]

Semoga Allah menganugerahi kita amalan-amalan yang selalu dicintai oleh-Nya. Hanya Allah yang memberi taufik. Segala puji bagi Allah yang dengan segala nikmat-Nya setiap kebaikan menjadi sempurna.

***Diselesaikan di Pangukan, Sleman, Senin sore, 16 Syawwal 1430 H.

Penulis: Muhammad Abduh

TuasikalArtikel www.muslim.or.id

[1] Lihat Latho-if Al Maarif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 396-400, Daar Ibnu Katsir, cetakan kelima, 1420 H [Tahqiq: Yasin Muhammad As Sawaas]

[2] HR. Bukhari no. 1987 dan Muslim no. 783

[3] Tafsir Al Quran Al Azhim, Ibnu Katsir, 8/417, Daar Thoyyibah, cetakan kedua, 1420 H [Tafsir Surat Al Lail]

[4] Latho-if Al Maarif, hal. 394.

[5] HR. Muslim no. 783, Kitab shalat para musafir dan qasharnya, Bab Keutamaan amalan shalat malam yang kontinu dan amalan lainnya.

[6] HR. Muslim no. 782

[7] HR. Muslim no. 783

[8] HR. Muslim no. 782

[9] Fathul Baari lii Ibni Rajab, 1/84, Asy Syamilah

[10] HR. Bukhari no. 1152

[11] HR. Muslim no. 783, Kitab shalat para musafir dan qasharnya, Bab Keutamaan amalan shalat malam yang kontinu dan amalan lainnya.

[12] Al Mahjah fii Sayrid Duljah, Ibnu Rajab, hal. 71. Dinukil dari Tajriidul Ittiba fii Bayaani Asbaabi Tafadhulil Amal, Ibrahim bin Amir Ar Ruhailiy, hal. 86, Daar Al Imam Ahmad, cetakan pertama, 1428 H.

[13] Syarh An Nawawi ala Muslim, 3/133, Mawqi Al Islam, Asy Syamilah

[14] Lihat Fathul Baari lii Ibni Rajab, 1/84

[15] HR. Bukhari no. 2996

[16] HR. Thobroni dalam Al Mujam Al Kabir, periwayatnya shohih. Lihat Majma Az Zawaid

[17] Lihat Fathul Baari lii Ibni Rajab, 1/84

[18] Tajridul Ittiba, hal. 89. Untuk pembahasan pada point ini, kami berusaha sarikan dari kitab tersebut.

[19] Diriwayatkan oleh An Nasa-i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. Lihat Al Hadits Ash Shohihah 580.

[20] Zaadul Maad, 1/456, Muassasah Ar Risalah, cetakan keempat, 1407 H. [Tahqiq: Syuaib Al Arnauth, Abdul Qadir Al Arnauth]

[21] Zaadul Maad, 1/311[22] Latho-if Al Maarif, hal. 398.

[23] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 4/79, Mawqi At Tafaasir, Asy Syamilah

[24] HR. Hakim. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dhoif Al Jami Ash Shogir mengatakan bahwa hadits ini shohih

Minggu, 17 April 2011



TASAWUF DIANTARA PEMUJI DAN PENGELAK

Dr. Yusuf Al-Qardhawi

Pertanyaan:
Kapan lahir dan berkembangnya ilmu tasawuf, dan apa
pula keistimewaanya?
Apa alasan orang-orang yang menolaknya dan bagaimana
dalilnya bagi orang-orang yang memujinya?
Jawab:
Masalah tasawuf ini pernah dibahas, tetapi ada baiknya untuk diulang kembali, sebab masalah ini amat penting untuk menyatakan suatu hakikat dan kebenaran yang hilang di antara orang-orang yang mencela dan memuji tasawuf tersebut secara menyeluruh.
Dengan penjelasan yang lebih luas ini, sekiranya dapat membuka tabir yang menyelimuti bagian yang cerah ini,sebagai teladan bagi orang yang hendak meninjau ke arah itu,misalnya ahli suluk yang berjalan ke arah Allah.
Di zaman para sahabat Nabi saw, kaum Muslimin serta pengikutnya mempelajari tasawuf, agama Islam dan hukum-hukum Islam secara keseluruhan, tanpa kecuali.
Tiada satu bagian pun yang tidak dipelajari dan dipraktekkan, baik lahir maupun batin; urusan dunia maupun akhirat; masalah pribadi maupun kemasyarakatan, bahkan masalah yang ada hubungannya dengan penggunaan akal,perkembangan jiwa dan jasmani, mendapat perhatian pula.
Timbulnya perubahan dan adanya kesulitan dalam kehidupan baru yang dihadapinya adalah akibat pengaruh yang ditimbulkan dari dalam dan luar. Dan juga adanya bangsa-bangsa yang berbeda paham dan alirannya dalam
masyarakat yang semakin hari kian bertambah besar.

Dalam hal ini, terdapat orang-orang yang perhatiannya dibatasi pada bagian akal, yaitu Ahlulkalam, Mu'tazilah. Ada yang perhatiannya dibatasi pada bagian lahirnya (luarnya) atau hukum-hukumnya saja, yaitu ahli fiqih. Ada pula orang-orang yang perhatiannya pada materi dan foya-foya,misalnya orang-orang kaya, dan sebagainya.
Maka, pada saat itu, timbullah orang-orang sufi yang perhatiannya terbatas pada bagian ubudiah saja, terutama pada bagian peningkatan dan penghayatan jiwa untuk mendapatkan keridhaan Allah dan keselamatan dari kemurkaan-Nya. Demi tercapainya tujuan tersebut, maka diharuskan zuhud atau hidup sederhana dan mengurangi hawa nafsu. Ini diambil dari pengertian syariat dan takwa kepada Allah.
Disamping itu, kemudian timbul hal baru, yaitu cinta kepada Allah (mahabatullah). Sebagaimana Siti Rabi'ah Al-Adawiyah, Abu Yazid Al-Basthami, dan Sulaiman Ad-Darani, mereka adalah tokoh-tokoh sufi. Mereka berpendapat sebagai berikut:
"Bahwa ketaatan dan kewajiban bukan karena takut pada neraka, dan bukan keinginan akan surga dan kenikmatannya, tetapi demi cintanya kepada Allah dan mencari keridhaan-Nya, supaya dekat dengan-Nya."
Dalam syairnya, Siti Rabi'ah Al-Adawiyah telah berkata:
"Semua orang yang menyembah Allah karena takut akan neraka dan ingin menikmati surga. Kalau aku tidak demikian, aku menyembah Allah, karena aku
cinta kepada Allah dan ingin ridhaNya."
Kemudian pandangan mereka itu berubah, dari pendidikan akhlak dan latihan jiwa, berubah menjadi paham-paham baru atas Islam yang menyimpang, yaitu filsafat; dan yang paling menonjol ialah Al-Ghaulu bil Hulul wa Wahdatul-Wujud (pahambersatunya hamba dengan Allah).
Paham ini juga yang dianut oleh Al-Hallaj, seorang tokoh sufi, sehingga dihukum mati tahun 309 H. karena ia berkata,"Saya adalah Tuhan."
Paham Hulul berarti Allah bersemayam di dalam makhluk-Nya,sama dengan paham kaum Nasrani terhadap Isa Al-Masih.
Banyak di kalangan para sufi sendiri yang menolak paham Al-Hallaj itu. Dan hal ini juga yang menyebabkan kemarahan para fuqaha khususnya dan kaum Muslimin pada umumnya.
Filsafat ini sangat berbahaya, karena dapat menghilangkan rasa tanggung jawab dan beranggapan bahwa semua manusia sama, baik yang jahat maupun yang baik; dan yang bertauhid maupun yang tidak, semua makhluk menjadi tempat bagi Tajalli (kasyaf) Al-Haq, yaitu Allah.
Dalam keadaan yang demikian, tentu timbul asumsi yang bermacam-macam, ada yang menilai masalah tasawuf tersebut secara amat fanatik dengan memuji mereka dan menganggap semua ajarannya itu baik sekali. Ada pula yang mencelanya,menganggap semua ajaran mereka tidak benar, dan beranggapan aliran tasawuf itu diambil dari agama Masehi, agama Budha,dan lain-lainnya.
Secara obyektif bahwa tasawuf itu dapat dikatakan sebagai berikut:
"Tasawuf ada dalam Islam dan mempunyai dasar yang mendalam. Tidak dapat diingkari dan disembunyikan, dapat dilihat dan dibaca dalam Al-Qur'an, Sunnah Rasul saw. dan para sahabatnya yang mempunyai sifat-sifat zuhud (tidak mau atau menjauhi hubudunya), tidak suka hidup mewah, sebagaimana sikap khalifah Umar r.a, Ali r.a, Abu Darda',Salman Al-Farisi, Abu Dzar r.a. dan lainnya."
Banyak ayat Al-Qur'an yang menganjurkan agar mawas diri dari godaan yang berupa kesenangan atau fitnah dunia.Tetapi hendaknya selalu bergerak menuju ke jalan yang diridhai oleh Allah swt. dan berlomba-lomba memohon ampunan
Allah swt, surga-Nya dan takutlah akan azab neraka.
Dalam Al-Qur,an dan hadis Nabi saw. juga telah diterangkan mengenai cinta Allah kepada hamba-hamba-Nya dan cinta hambaNya kepada Allah. Sebagaimana disebutkan dalam ayat Al-Qur,an:

šÆÏBur Ĩ$¨Z9$# `tB äÏ­Gtƒ `ÏB Èbrߊ «!$# #YŠ#yRr& öNåktXq6Ïtä Éb=ßsx. «!$# ( tûïÉ©9$#ur (#þqãZtB#uä x©r& ${6ãm °! 3 öqs9ur ttƒ tûïÏ%©!$# (#þqãKn=sß øŒÎ) tb÷rttƒ z>#xyèø9$# ¨br& no§qà)ø9$# ¬! $YèÏJy_ ¨br&ur ©!$# ߃Ïx© É>#xyèø9$# ÇÊÏÎÈ

165. Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu[106] mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).

[106] yang dimaksud dengan orang yang zalim di sini ialah orang-orang yang menyembah selain Allah.


"Adapun orang-orang yang beriman cintanya sangat
besar kepada Allah ..." (Q.s. Al-Baqarah: 165).

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä `tB £s?ötƒ öNä3YÏB `tã ¾ÏmÏZƒÏŠ t$öq|¡sù ÎAù'tƒ ª!$# 5Qöqs)Î/ öNåk:Ïtä ÿ¼çmtRq6Ïtäur A'©!ÏŒr& n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# >o¨Ïãr& n?tã tûï͍Ïÿ»s3ø9$# šcrßÎg»pgä Îû È@Î6y «!$# Ÿwur tbqèù$sƒs sptBöqs9 5OͬIw 4 y7Ï9ºsŒ ã@ôÒsù «!$# ÏmŠÏ?÷sム`tB âä!$t±o 4 ª!$#ur ììźur íOŠÎ=tæ ÇÎÍÈ

54. Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah Lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.

"... Allah mencintai mereka dan mereka pun
mencintai-Nya ..." (Q.s. Al-Maidah: 54).

¨bÎ) ©!$# =Ïtä šúïÏ%©!$# šcqè=ÏG»s)ムÎû ¾Ï&Î#Î6y $yÿ|¹ Oßg¯Rr(x. Ö`»uŠ÷Yç/ ÒÉqß¹ö¨B ÇÍÈ

4. Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.

"Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
berjihad di jalan Allah dalam barisan yang teratur
(tidak tercerai-berai) ..." (Q.s. Ash-Shaff: 4).


Diterangkan pula dalam Al-Qur'an dan hadis mengenai masalah zuhud, tawakal, tobat, syukur, sabar, yakin, takwa,muraqabah (mawas diri), dan lain-lainnya dari maqam-maqam yang suci dalam agama.
Tidak ada golongan lain yang memberi perhatian penuh dalam menafsirkan, membahas dengan teliti dan terinci, serta membagi segi-segi utamanya maqam ini selain para sufi.Merekalah yang paling mahir dan mengetahui akan penyakit
jiwa, sifat-sifatnya dan kekurangan yang ada pada manusia,mereka ini ahli dalam ilmu pendidikan yang dinamakan Suluk.Tetapi, tasawuf tidak berhenti hingga di sini saja dalam peranannya di masa permulaan, yaitu adanya kemauan dalam
melaksanakan akhlak yang luhur dan hakikat dari ibadat yang murni semata untuk Allah swt. Sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauzi, yaitu: "Ilmu tasawuf itu,kemudian akan meningkat ke bidang makrifat perkenalan,
setelah itu ke arah khasab ungkapan dan karunia Allah. Hal ini diperoleh melalui pembersihan hati nurani.
Akhirnya, dengan ditingkatkannya hal-hal ini, timbullah penyimpangan, tanpa dirasakan oleh sebagian ahli sufi."


Di antara yang tampak dari penyimpangan sebagian orang-orang sufi adalah sebagai berikut:
1. Dijadikannya wijid (perasaan) dan ilham sebagai ukuran untuk dasar pengetahuan dan lain-lain; juga dapat dijadikan ukuran untuk membedakan antara yang benar dan salah.
Sehingga sebagian ada yang berkata, "Aku diberi tahu oleh hati dari Tuhanku (Allah)."Berbeda dengan ungkapan dari ahli sunnah bahwa apabila mereka meriwayatkan ini dari si Fulan, si Fulan sampai kepada Rasulullah saw.
2. Dibedakannya antara syariat dan hakikat, antara hukum Islam dan yang bebas dari hukumnya.
3. Dikuasai oleh paham Jabariah dan Salabiah, sehingga dapat mempengaruhi iman dan akidah mereka, dimana manusia mutlak dikendalikannya. Maka tidak perlu lagi melawan dan selalu bersikap pasif, tidak aktif.
Tidak dihargainya dunia dan perkembangannya. Apa yang ada di dunia dianggapnya sepele, padahal ayat Al-Qur,an telah menyatakan:

Æ÷tGö/$#ur !$yJÏù š9t?#uä ª!$# u#¤$!$# notÅzFy$# ( Ÿwur š[Ys? y7t7ŠÅÁtR šÆÏB $u÷R9$# ( `Å¡ômr&ur !$yJŸ2 z`|¡ômr& ª!$# šøs9Î) ( Ÿwur Æ÷ö7s? yŠ$|¡xÿø9$# Îû ÇÚöF{$# ( ¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä tûïÏÅ¡øÿßJø9$# ÇÐÐÈ

77. Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

"... dan janganlah kamu melupakan akan nasibmu
(kebahagiaanmu) dari (kenikmatan) dunia ..."(Q.s. Al-Qashash: 77).
Pikiran dan teori di atas telah tersebar dan dipraktekkan dimana-mana, dengan dasar dan paham bahwa hal ini bagian dari Islam, ditetapkan oleh Islam, dan ada sebagian,terutama dari golongan intelektual, keduanya belum mengerti
benar akan hal itu karena tidak mempelajarinya.
Sekali lagi kita tandaskan, bahwa orang sufi dahulu, selalu menyuruh jangan sampai menyimpang dari garis syariat dan hukum-hukumnya.
Ibnul Qayyim berkata mengenai keterangan dari tokoh-tokoh sufi, "Tokoh-tokoh sufi dan guru besar mereka, Al-Junaid bin Muhammad (297 H.), berkata, 'Semua jalan tertutup bagi manusia, kecuali jalan yang dilalui Nabi saw.'"

Al-Junaid pun berkata:
"Barangsiapa yang tidak hafal Al-Qur'an dan menulis hadis-hadis Nabi saw. maka tidak boleh dijadikan panutan dan ditiru, karena ilmu kita (tasawuf) terikat pada kitab Al-Qur'an danAs-Sunnah."
Abu Khafs berkata:
"Barangsiapa yang tidak menimbang amal dan segala sesuatu dengan timbangan Al-Kitab dan As-Sunnah,serta tidak menuduh perasaannya (tidak membenarkan wijid-nya), maka mereka itu tidak termasuk golongan kaum tasawuf."
Abu Yazid Al-Basthami berkata:
"Janganlah kamu menilai dan tertipu dengan kekuatan-kekuatan yang luar biasa,tetapi yang harus dinilai adalah ketaatan dan ketakwaan seseorang pada agama dan syariat pelaksanaannya."
Kiranya keterangan yang paling tepat mengenai tasawuf dan para sufi adalah sebagaimana yang diuraikan oleh Al-Imam Ibnu Taimiyah dalam menjawab atas pertanyaan, "Bagaimana pandangan ahli agama mengenai tasawuf?"
Ibnu Taimiyah memberi jawaban sebagai berikut,
"Pandangan orang dalam masalah tasawuf ada dua,yaitu:Sebagian termasuk ahli fiqih dan ilmu kalam mencela dan menganggap para sufi itu ahli bid'ah dan di luar Sunnah Nabi saw. Sebagian lagi terlalu berlebih-lebihan dalam memberikan pujian dan menganggap mereka paling baik dan sempurna di antara manusia setelah Nabi saw. Kedua-duanya tidak benar. Yang benar ialah bahwa mereka ini sedang dalam usaha melakukan pengabdian kepada Allah, sebagaimana usaha orang-orang lain untuk menaati Allah swt. Dalam kondisi yang prima di antara mereka, ada yang cepat sampai dan dekat kepada Allah, orang-orang ini dinamakan Minal muqarrabiin (orang-orang yang terdekat dengan Allah), sesuai dengan ijtihadnya ada pula yang intensitas ketaatannya sedang-sedang saja. Orang ini termasuk bagian kanan: Min ashhaabilyamiin (orang-orang yang berada di antara kedua sikap tadi)."
Di antara golongan itu ada yang salah, ada yang berdosa,melakukan tobat, ada pula yang tetap tidak bertobat. Yang lebih sesat lagi adalah orang-orang yang melakukan kezaliman dan kemaksiatan, tetapi menganggap dirinya orang-orang sufi.Masih banyak lagi dari ahli bid'ah dan golongan fasik yang menganggap dirinya golongan tasawuf, yang ditolak dan tidak diakui oleh tokoh-tokoh sufi yang benar dan terkenal.Sebagaimana Al-Junaid dan lain-lainnya.
Wallaahu A'lam.