Rabu, 30 Maret 2011


RENUNGAN MALAM ...


Pernahkah anda menatap orang-orang terdekat anda saat ia tidur?
Kalau belum, cobalah sekali saja menatap mereka saat sedang tidur. Saat itu yang tampak adalah ekspresi paling wajar dan paling jujur dari seseorang.
Seorang artis yang ketika di panggung begitu cantik dan gemerlap pun bisa jadi akan tampak polos dan jauh berbeda jika ia sedang tidur. Orang paling kejam di dunia pun jika tidur, sudah tak akan tampak wajah bengisnya.
Perhatikanlah ayah anda saat beliau sedang tidur.Sadarilah, betapa badan yang dulu kekar dan gagah itu kini semakin tua dan ringkih, betapa rambut-rambut putih mulai menghiasi kepalanya, betapa kerut merut mulai terpahat di wajahnya. Orang inilah yang rela melakukan apa saja asal perut kita kenyang dan pendidikan kita lancar.
Sekarang, beralihlah ke ibu anda. Hmm....kulitnya mulai keriput dan tangan yang dulu halus membelai-belai tubuh waktu kita bayi itu kini kasar karena terpaan hidup yang keras. Orang inilah yang tiap hari mengurus kebutuhan kita. Orang inilah yang paling rajin mengingatkan dan mengomeli kita, semata-mata karena rasa kasih dan sayangnya itu sering kita salah artikan.
Cobalah menatap wajah orang-orang tercinta itu....ayah, ibu, suami, istri, kakak, adik, anak, sahabat...semuanya orang - orang yang tercinta. Rasakan energi cinta yang mengalir pelan-pelan saat menatap wajah lugu yang terlelap itu...... Rasakan getaran cinta yang mengalir deras ketika mengingat betapa banyaknya pengorbanan yang telah di lakukan orang-orang itu untuk kebahagiaan anda. Pengorbanan yang kadang tertutupi oleh kesalah pahaman kecil yang entah kenapa selalu saja nampak besar
Secara ajaib Allah SWT mengatur agar pengorbanan itu bisa tampak lagi melalui wajah- wajah jujur mereka saat sedang tidur. Pengorbanan yang kadang melelahkan namun enggan mereka ungkapkan. Dan ekspresi wajah ketika tidur pun mengungkapkan segalanya, tanpa kata, tanpa suara dia berkata : " Betapa lelahnya aku hari ini" dan apa penyebab lelah itu ?.......juga untuk siapa dia berlelah-lelah ? Tak lain adalah suami yang bekerja keras mencari nafkah dan istri yang bekerja mengurus, mendidik anak-anak juga mengurus rumah.
Kakak, adik, anak, dan sahabat yang telah melewatkan hari-hari suka dan duka bersama kita.
Renungan untuk kita semua...
Resapilah kenangan manis dan pahit yang pernah terjadi dengan menatap wajah-wajah mereka nanti malam.....rasakan betapa kebahagian dan keharuan seketika membuncah jika mengingat itu semua...........
Bayangkan apa yang akan terjadi jika esok hari mereka "orang-orang terkasih itu tak lagi membuka mata utk selama-lamanya"

Rabu, 23 Maret 2011

Penantian Panjang

By Pemuja Rahasia

>>>>>>><<<<<<<

Demi kekasihnya yang sekarat, seorang wanita rela menjadi seekor kupu-kupu untuk

menyelamatkan jiwanya. Penantiannya yang panjang justru membalikkan kisah cinta

mereka menjadi kesedihan.

Di sebuah kota kecil yang tenang dan indah, ada sepasang pria dan wanita yang saling

mencintai. Mereka selalu bersama memandang matahari terbit di puncak gunung, bersama

di pesisir pantai menghantar matahari senja. Setiap orang yang bertemu dengan mereka

tidak bisa tidak akan menghantar dengan pandangan kagum dan doa bahagia. Mereka

saling mengasihi satu sama lain.

Namun pada suatu hari, malang .. sang lelaki mengalami luka berat akibat sebuah kecelakaan.

Ia berbaring di atas ranjang pasien.. beberapa malam tidak sadarkan diri di rumah sakit.

Siang hari sang wanita menjaga di depan ranjang dan dengan tiada henti memanggil-manggil

kekasih yang tidak sadar sedikitpun.

Malamnya ia tak lupa berdoa kepada Tuhan agar kekasihnya selamat. Air matanya sendiri

hampir kering karena menangis sepanjang hari. Seminggu telah berlalu, sang lelaki tetap pingsan tertidur seperti dulu, sedangkan si wanita telah berubah menjadi pucat pasi dan lesu tidak terkira, namun ia tetap dengan susah payah bertahan dan akhirnya pada suatu hari Tuhan terharu oleh keadaan wanita yang setia dan teguh itu, lalu IA memutuskan memberikan kepada wanita itu

sebuah pengecualian kepada dirinya. Maka diutuslah malaikat menemuinya.

Malaikat bertanya kepadanya: Apakah kamu benar-benar bersedia menggunakan nyawamu

sendiri untuk menukarnya ?. Si wanita tanpa ragu sedikitpun menjawab: Ya.

Malaikat berkata: Baiklah, Tuhan bisa segera membuat kekasihmu sembuh kembali, namun kamu

harus berjanji menjelma menjadi kupu-kupu selama 3 tahun. Pertukaran seperti ini apakah

kamu juga bersedia ?.

Si wanita terharu setelah mendengarnya dan dengan jawaban yang pasti menjawab:

saya bersedia!. Hari telah terang. Si wanita telah menjadi seekor kupu-kupu yang indah.

Ia mohon diri pada malikat lalu segera kembali ke rumah sakit. Hasilnya, lelaki itu benar-benar

telah siuman bahkan ia sedang berbicara dengan seorang dokter. Namun sayang, ia tidak dapat mendengarnya sebab ia tak bisa masuk ke ruang itu. Dengan di sekati oleh kaca, ia hanya bisa memandang dari jauh kekasihnya sendiri.

Beberapa hari kemudian, sang lelaki telah sembuh. Namun ia sama sekali tidak bahagia. Ia

mencari keberadaan sang wanita pada setiap orang yang lewat, namun tidak ada yang tahu sebenarnya sang wanita telah pergi kemana. Sang lelaki sepanjang hari tidak makan dan

istirahat, terus mencari. Ia begitu rindu kepadanya, begitu inginnya bertemu dengan sang kekasih, namun sang wanita yang telah berubah menjadi kupu-kupu bukankah setiap saat selalu berputar di sampingnya ? hanya saja ia tidak bisa berteriak, tidak bisa memeluk. Ia hanya bisa memandangnya secara diam-diam.

Musim panas telah berakhir, angin musim gugur yang sejuk meniup jatuh daun pepohonan.

Kupu-kupu mau tidak mau harus meninggalkan tempat tersebut lalu terakhir kali ia terbang &

hinggap di atas bahu sang lelaki. Ia bermaksud menggunakan sayapnya yang kecil halus

membelai wajahnya, menggunakan mulutnya yang kecil lembut mencium keningnya. Namun

tubuhnya yang kecil dan lemah benar-benar tidak boleh di ketahui olehnya, sebuah gelombang

suara tangisan yang sedih hanya dapat di dengar oleh kupu-kupu itu sendiri & mau tidak mau

dengan berat hati ia meninggalkan kekasihnya, terbang ke arah yang jauh dengan membawa

harapan.

Dalam sekejap telah tiba musim semi yang kedua, sang kupu-kupu dengan tidak sabarnya

segera terbang kembali mencari kekasihnya yang lama di tinggalkannya. Namun di samping

bayangan yang tak asing lagi ternyata telah berdiri seorang wanita cantik. Dalam sekilas itu

sang kupu-kupu nyaris jatuh dari angkasa. Ia benar-benar tidak percaya dengan pemandangan

di depan matanya sendiri. Lebih tidak percaya lagi dengan omongan yang di bicarakan banyak

orang. Orang-orang selalu menceritakan beberapa bulan yang lalu, betapa parah sakit sang lelaki. Melukiskan betapa baik dan manisnya dokter wanita itu. Bahkan melukiskan betapa sudah

sewajarnya percintaan mereka dan tentu saja juga melukiskan bahwa sang lelaki sudah bahagia

seperti dulu kala dsb.

Sang kupu-kupu sangat sedih. Beberapa hari berikutnya ia seringkali melihat kekasihnya sendiri membawa wanita itu ke gunung memandang matahari terbit, menghantar matahari senja di

pesisir pantai. Segala yg pernah di milikinya dahulu dalam sekejap tokoh utamanya telah berganti

seorang wanita lain sedangkan ia sendiri selain kadangkala bisa hinggap di atas bahunya,

namun tidak dapat berbuat apa-apa.

Musim panas tahun ini sangat panjang, sang kupu-kupu setiap hari terbang rendah dengan

tersiksa dan ia sudah tidak memiliki keberanian lagi utk mendekati kekasihnya sendiri. Bisikan

suara antara ia dengan wanita itu, ia dan suara tawa bahagianya sudah cukup membuat

embusan napas dirinya berakhir, karenanya sebelum musim panas berakhir, sang kupu-kupu

telah terbang berlalu.

Bunga bersemi dan layu. Bunga layu dan bersemi lagi. Bagi seekor kupu-kupu waktu seolah-olah

hanya menandakan semua ini. Musim panas pada tahun ketiga, sang kupu-kupu sudah tidak

sering lagi pergi mengunjungi kekasihnya sendiri. Sang lelaki bekas kekasihnya itu mendekap

perlahan bahu si wanita, mencium lembut wajah wanitanya sendiri.

Sama sekali tidak punya waktu memperhatikan seekor kupu-kupu yang hancur hatinya apalagi mengingat masa lalu. Tiga tahun perjanjian Tuhan dengan sang kupu-kupu sudah akan segera

berakhir dan pada saat hari yang terakhir, kekasih si kupu-kupu melaksanakan pernikahan

dengan wanita itu. Dalam gedung kecil yang telah di penuhi orang-orang. Sang kupu-kupu

secara diam-diam masuk ke dalam dan hinggap perlahan di atas jendela. Ia mendengarkan

sang kekasih yang berada di bawah berikrar dgn mengatakan: saya bersedia menikah

dengannya!. Ia memandangi sang kekasih memakaikan cincin ke tangan wanita itu, kemudian memandangi mereka dengan mesranya lalu mengalirlah air mata sedih sang kupu-kupu.

Akhirya malaikat berkata : Apakah kamu menyesal ?. Sang kupu-kupu mengeringkan

air matanya: Tidak. Malaikat lalu berkata di sertai seberkas kegembiraan: Besok kamu sudah

dapat kembali menjadi dirimu sendiri. Sang kupu-kupu menggeleng-gelengkan kepalanya:

BIARKAN AKU MENJADI KUPU-KUPU SEUMUR HIDUPKU.

MENCINTAI SESEORANG TIDAK MESTI HARUS MEMILIKI, NAMUN MEMILIKI SESEORANG MAKA HARUS MENCINTAINYA.

Minggu, 20 Maret 2011

Agenda Harian

Semoga kita senantiasa terpacu untuk mengukir prestasi amal yang akan memperberat timbangan kebaikan di yaumil akhir, berikut rangkaian yang bisa dilakukan

1. Agenda pada sepertiga malam akhir

a. Menunaikan shalat tahajjud dengan memanjangkan waktu pada saat ruku’ dan sujud di dalamnya,

b. Menunaikan shalat witir

c. Duduk untuk berdoa dan memohon ampun kepada Allah hingga azan subuh

Rasulullah saw bersabda:

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

“Sesungguhnya Allah SWT selalu turun pada setiap malam menuju langit dunia saat 1/3 malam terakhir, dan Dia berkata: “Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku maka akan Aku kabulkan, dan barangsiapa yang meminta kepada-Ku maka akan Aku berikan, dan barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku maka akan Aku ampuni”. (HR. Bukhari Muslim)


2. Agenda Setelah Terbit Fajar

a. Menjawab seruan azan untuk shalat subuh

” الَّلهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِي وَعَدْتَهُ “

“Ya Allah, Tuhan pemilik seruan yang sempurna ini, shalat yang telah dikumandangkan, berikanlah kepada Nabi Muhammad wasilah dan karunia, dan bangkitkanlah dia pada tempat yang terpuji seperti yang telah Engkau janjikan. (Ditashih oleh Al-Albani)

b. Menunaikan shalat sunnah fajar di rumah dua rakaat

Rasulullah saw bersabda:

رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا

“Dua rakaat sunnah fajar lebih baik dari dunia dan segala isinya”. (Muslim)

وَ قَدْ قَرَأَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِي رَكْعَتَي الْفَجْرِ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدَ

“Nabi saw pada dua rakaat sunnah fajar membaca surat “Qul ya ayyuhal kafirun” dan “Qul huwallahu ahad”.

c. Menunaikan shalat subuh berjamaah di masjid –khususnya- bagi laki-laki.

Rasulullah saw bersabda:

وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِي الْعَتْمَةِ وَالصُّبْحِ لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا

“Sekiranya manusia tahu apa yang ada dalam kegelapan dan subuh maka mereka akan mendatanginya walau dalam keadaan tergopoh-gopoh” (Muttafaqun alaih)

بَشِّرِ الْمَشَّائِيْنَ فِي الظّلَمِ إِلَى الْمَسَاجِدِ بِالنُّوْرِ التَّامِّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Berikanlah kabar gembira kepada para pejalan di kegelapan menuju masjid dengan cahaya yang sempurna pada hari kiamat”. (Tirmidzi dan ibnu Majah)

d. Menyibukkan diri dengan doa, dzikir atau tilawah Al-Quran hingga waktu iqamat shalat

Rasulullah saw bersabda:

الدُّعَاءُ لاَ يُرَدُّ بَيْنَ الأَذَانِ وَالإِقَامَةِ

“Doa antara adzan dan iqamat tidak akan ditolak” (Ahmad dan Tirmidzi dan Abu Daud)

e. Duduk di masjid bagi laki-laki /mushalla bagi wanita untuk berdzikir dan membaca dzikir waktu pagi

Dalam hadits nabi disebutkan:

كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” إَذَا صَلَّى الْفَجْرَ تَرَبَّعَ فِي مَجْلِسِهِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ الْحَسَنَاءُ

” Nabi saw jika selesai shalat fajar duduk di tempat duduknya hingga terbit matahari yang ke kuning-kuningan”. (Muslim)

Agenda prioritas

Membaca Al-Quran.

Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya waktu fajar itu disaksikan (malaikat). (Al-Isra : 78) Dan memiliki komitmen sesuai kemampuannya untuk selalu:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah lebih banyak dari itu semua, maka akan menuai kebaikan berlimpah insya Allah.

3. Menunaikan shalat Dhuha walau hanya dua rakaat

Rasulullah saw bersabda:

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى

“Setiap ruas tulang tubuh manusia wajib dikeluarkan sedekahnya, setiap hari ketika matahari terbit. Mendamaikan antara dua orang yang berselisih adalah sedekah, menolong orang dengan membantunya menaiki kendaraan atau mengangkat kan barang ke atas kendaraannya adalah sedekah, kata-kata yang baik adalah sedekah, tiap-tiap langkahmu untuk mengerjakan shalat adalah sedekah, dan membersihkan rintangan dari jalan adalah sedekah”. (Bukhari dan Muslim)

4. Berangkat kerja atau belajar dengan berharap karena Allah

Rasulullah saw bersabda:

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمِلِ يَدِهِ، وَكَانَ دَاوُدُ لا يَأْكُلُ إِلا مِنْ عَمِلِ يَدِهِ

“Tidaklah seseorang memakan makanan, lebih baik dari yang didapat oleh tangannya sendiri, dan bahwa nabi Daud makan dari hasil tangannya sendiri”. (Bukhari)

Dalam hadits lainnya nabi juga bersabda:

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang berjalan dalam rangka mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga”. (Muslim)

d. Menyibukkan diri dengan dzikir sepanjang hari

Allah berfirman :

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Ketahuilah dengan berdzikir kepada Allah maka hati akan menjadi tenang” (Ra’ad : 28)

Rasulullah saw bersabda:

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللهَ أَنْ تَمُوْتَ ولسانُك رَطْبٌ من ذِكْرِ الله

“Sebaik-baik perbuatan kepada Allah adalah saat engkau mati sementara lidahmu basah dari berdzikir kepada Allah” (Thabrani dan Ibnu Hibban) .

5. Agenda saat shalat Zhuhur

a. Menjawab azan untuk shalat Zhuhur, lalu menunaikan shalat Zhuhur berjamaah di Masjid khususnya bagi laki-laki

b. Menunaikan sunnah rawatib sebelum Zhuhur 4 rakaat dan 2 rakaat setelah Zhuhur

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ صَلَّى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِي يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِيَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang shalat 12 rakaat pada siang dan malam hari maka Allah akan membangunkan baginya dengannya rumah di surga”. (Muslim).

6. Agenda saat dan setelah shalat Ashar

a. Menjawab azan untuk shalat Ashar, kemudian dilanjutkan dengan menunaikan shalat Ashar secara berjamaah di masjid

b. Mendengarkan nasihat di masjid (jika ada)

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ لا يُرِيدُ إِلا أَنْ يَتَعَلَّمَ خَيْرًا أَوْ يَعْلَمَهُ، كَانَ لَهُ كَأَجْرِ حَاجٍّ تَامًّا حِجَّتُهُ

“Barangsiapa yang pergi ke masjid tidak menginginkan yang lain kecuali belajar kebaikan atau mengajarkannya, maka baginya ganjaran haji secara sempurna”. (Thabrani – hasan shahih)

c. Istirahat sejenak dengan niat yang karena Allah

Rasulullah saw bersabda:

وَإِنَّ لِبَدَنِكَ عَلَيْكَ حَقٌّ

“Sesungguhnya bagi setiap tubuh atasmu ada haknya”.

Agenda prioritas:

Membaca Al-Quran dan berkomitmen semampunya untuk:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah sesuai kemampuan, maka akan menuai kebaikan yang berlimpah insya Allah.

7. Agenda sebelum Maghrib

a. Memperhatikan urusan rumah tangga – melakukan mudzakarah – Menghafal Al-Quran

b. Mendengarkan ceramah, nasihat, khutbah, untaian hikmah atau dakwah melalui media

c. Menyibukkan diri dengan doa

Rasulullah saw bersabda:

الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ

“Doa adalah ibadah”

8. Agenda setelah terbenam matahari

a. Menjawab azan untuk shalat Maghrib

b. Menunaikan shalat Maghrib secara berjamaah di masjid (khususnya bagi laki-laki)

c. Menunaikan shalat sunnah rawatib setelah Maghrib – 2 rakaat

d. Membaca dzikir sore

e. Mempersiapkan diri untuk shalat Isya lalu melangkahkan kaki menuju masjid

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ لِيَقْضِيَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللَّهِ كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً وَالْأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً

“Barangsiapa yang bersuci/berwudhu kemudian berjalan menuju salah satu dari rumah-rumah Allah untuk menunaikan salah satu kewajiban dari kewajiban Allah, maka langkah-langkahnya akan menggugurkan kesalahan dan yang lainnya mengangkat derajatnya”. (Muslim)

9. Agenda pada waktu shalat Isya

a. Menjawab azan untuk shalat Isya kemudian menunaikan shalat Isya secara jamaah di masjid

b. Menunaikan shalat sunnah rawatib setelah Isya – 2 rakaat

c. Duduk bersama keluarga/melakukan silaturahim

d. Mendengarkan ceramah, nasihat dan untaian hikmah di Masjid

e. Dakwah melalui media atau lainnya

f. Melakukan mudzakarah

g. Menghafal Al-Quran

Agenda prioritas

Membaca Al-Quran dengan berkomitmen sesuai dengan kemampuannya untuk:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah sesuai kemampuan bacaan maka telah menuai kebaikan berlimpah insya Allah.


Apa yang kita jelaskan di sini merupakan contoh, sehingga tidak harus sama persis dengan yang kami sampaikan, kondisional tergantung masing-masing individu. Semoga ikhtiar ini bisa memandu kita untuk optimalisasi ibadah insya Allah. Allahu a’lam

Jazaakillah

Sedikit revisi dari : http://www.al-ikhwan.net/agenda-harian-ramadhan-menuju-bahagia-di-bulan-ramadhan-2989/

Sebab-Sebab Turunnya Rizki


Akhir-akhir ini banyak orang yang mengeluhkan masalah penghasilan atau rizki, entah karena merasa kurang banyak atau karena kurang berkah. Begitu pula berbagai problem kehidupan, mengatur pengeluaran dan kebutuhan serta bermacam-macam tuntutannya. Sehingga masalah penghasilan ini menjadi sesuatu yang menyibukkan, bahkan membuat bingung dan stress sebagian orang. Maka tak jarang di antara mereka ada yang mengambil jalan pintas dengan menempuh segala cara yang penting keinginan tercapai. Akibatnya bermunculanlah koruptor, pencuri, pencopet, perampok, pelaku suap dan sogok, penipuan bahkan pembunuhan, pemutusan silaturrahim dan meninggal kan ibadah kepada Allah untuk mendapatkan uang atau alasan kebutuhan hidup.


Mereka lupa bahwa Allah telah menjelaskan kepada hamba-hamba-Nya sebab-sebab yang dapat mendatangkan rizki dengan penjelasan yang amat gamblang. Dia menjanjikan keluasan rizki kepada siapa saja yang menempuhnya serta menggunakan cara-cara itu, Allah juga memberikan jaminan bahwa mereka pasti akan sukses serta mendapatkan rizki dengan tanpa disangka-sangka.

Diantara sebab-sebab yang melapangkan rizki adalah sebagai berikut:

Takwa Kepada Allah

Takwa merupakan salah satu sebab yang dapat mendatangkan rizki dan menjadikannya terus bertambah. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, artinya,
“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tidada disangka-sangkanya.” (At Thalaq 2-3)

Setiap orang yang bertakwa, menetapi segala yang diridhai Allah dalam segala kondisi maka Allah akan memberikan keteguhan di dunia dan di akhirat. Dan salah satu dari sekian banyak pahala yang dia peroleh adalah Allah akan menjadikan baginya jalan keluar dalam setiap permasalahan dan problematika hidup, dan Allah akan memberikan kepadanya rizki secara tidak terduga.
Imam Ibnu Katsir berkata tentang firman Allah di atas, "Yaitu barang siapa yang bertakwa kepada Allah dalam segala yang diperintahkan dan menjauhi apa saja yang Dia larang maka Allah akan memberikan jalan keluar dalam setiap urusannya, dan Dia akan memberikan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka, yakni dari jalan yang tidak pernah terlintas sama sekali sebelumnya.”

Allah swt juga berfirman, artinya,
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. 7:96)

Istighfar dan Taubat

Termasuk sebab yang mendatang kan rizki adalah istighfar dan taubat, sebagaimana firman Allah yang mengisahkan tentang Nabi Nuh Alaihissalam ,
“Maka aku katakan kepada mereka:"Mohonlah ampun kepada Rabbmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun" niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. 71:10-12)
Al-Qurthubi mengatakan, "Di dalam ayat ini, dan juga dalam surat Hud (ayat 52,red) terdapat petunjuk bahwa istighfar merupakan penyebab turunnya rizki dan hujan."

Ada seseorang yang mengadukan kekeringan kepada al-Hasan al-Bashri, maka beliau berkata, "Beristighfarlah kepada Allah", lalu ada orang lain yang mengadukan kefakirannya, dan beliau menjawab, "Beristighfarlah kepada Allah". Ada lagi yang mengatakan, "Mohonlah kepada Allah agar memberikan kepadaku anak!" Maka beliau menjawab, "Beristighfarlah kepada Allah". Kemudian ada yang mengeluhkan kebunnya yang kering kerontang, beliau pun juga menjawab, "Beristighfarlah kepada Allah."
Maka orang-orang pun bertanya, “Banyak orang berdatangan mengadukan berbagai persoalan, namun anda memerintahkan mereka semua agar beristighfar." Beliau lalu menjawab, "Aku mengatakan itu bukan dari diriku, sesungguhnya Allah swt telah berfirman di dalam surat Nuh,(seperti tersebut diatas, red)

Istighfar yang dimaksudkan adalah istighfar dengan hati dan lisan lalu berhenti dari segala dosa, karena orang yang beristighfar dengan lisannnya saja sementara dosa-dosa masih terus dia kerjakan dan hati masih senantiasa menyukainya maka ini merupakan istighfar yang dusta. Istighfar yang demikian tidak memberikan faidah dan manfaat sebagaimana yang diharapkan.

Tawakkal Kepada Allah

Allah swt berfirman, artinya,
“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. 65:3)
Nabi saw telah bersabda, artinya,
"Seandainya kalian mau bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya maka pasti Allah akan memberikan rizki kepadamu sebagaimana burung yang diberi rizki, pagi-pagi dia dalam keadaan lapar dan kembali dalam keadaan kenyang." (HR Ahmad, at-Tirmidzi dan dishahihkan al-Albani)

Tawakkal kepada Allah merupakan bentuk memperlihatkan kelemahan diri dan sikap bersandar kepada-Nya saja, lalu mengetahui dengan yakin bahwa hanya Allah yang memberikan pengaruh di dalam kehidupan. Segala yang ada di alam berupa makhluk, rizki, pemberian, madharat dan manfaat, kefakiran dan kekayaan, sakit dan sehat, kematian dan kehidupan dan selainnya adalah dari Allah semata.

Maka hakikat tawakkal adalah sebagaimana yang di sampaikan oleh al-Imam Ibnu Rajab, yaitu menyandarkan hati dengan sebenarnya kepada Allah Azza wa Jalla di dalam mencari kebaikan (mashlahat) dan menghindari madharat (bahaya) dalam seluruh urusan dunia dan akhirat, menyerahkan seluruh urusan hanya kepada Allah serta merealisasikan keyakinan bahwa tidak ada yang dapat memberi dan menahan, tidak ada yang mendatangkan madharat dan manfaat selain Dia.

Silaturrahim

Ada banyak hadits yang menjelaskan bahwa silaturrahim merupakan salah satu sebab terbukanya pintu rizki, di antaranya adalah sebagai berikut:
-Sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, artinya,
" Dari Abu Hurairah ra berkata, "Aku mendengar Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, "Siapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaklah menyambung silaturrahim." (HR Al Bukhari)
-Sabda Nabi saw, artinya,
"Dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu , Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, " Ketahuilah orang yang ada hubungan nasab denganmu yang engkau harus menyambung hubungan kekerabatan dengannya. Karena sesungguhnya silaturrahim menumbuhkan kecintaan dalam keluarga, memperbanyak harta dan memperpanjang umur." (HR. Ahmad dishahihkan al-Albani)
Yang dimaksudkan dengan kerabat (arham) adalah siapa saja yang ada hubungan nasab antara kita dengan mereka, baik itu ada hubungan waris atau tidak, mahram atau bukan mahram.

Infaq fi Sabilillah

Allah swt berfirman, artinya,
“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya.” (QS. 34:39)

Ibnu Katsir berkata, "Yaitu apapun yang kau infakkan di dalam hal yang diperintahkan kepadamu atau yang diperbolehkan, maka Dia (Allah) akan memberikan ganti kepadamu di dunia dan memberikan pahala dan balasan di akhirat kelak."

Juga firman Allah yang lain,artinya,

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. 2:267-268)

Dalam sebuah hadits qudsi Rasulullah saw bersabda, Allah swt berfirman, "Wahai Anak Adam, berinfaklah maka Aku akan berinfak kepadamu." (HR Muslim)

Menyambung Haji dengan Umrah

Berdasarkan pada hadits Nabi Shalallaahu alaihi wasalam dari Ibnu Mas'ud Radhiallaahu anhu dia berkata, Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, artinya,
"Ikutilah haji dengan umrah karena sesungguhnya keduanya akan menghilangkan kefakiran dan dosa sebagaimana pande besi menghilangkan karat dari besi, emas atau perak, dan haji yang mabrur tidak ada balasannya kecuali surga." (HR. at-Tirmidzi dan an- Nasai, dishahihkan al-Albani)
Maksudnya adalah, jika kita berhaji maka ikuti haji tersebut dengan umrah, dan jika kita melakukan umrah maka ikuti atau sambung umrah tersebut dengan melakukan ibadah haji.

Berbuat Baik kepada Orang Lemah

Nabi saw telah menjelaskan bahwa Allah akan memberikan rizki dan pertolongan kepada hamba-Nya dengan sebab ihsan (berbuat baik) kepada orang-orang lemah, beliau bersabda, artinya,
"Tidaklah kalian semua diberi pertolongan dan diberikan rizki melainkan karena orang-orang lemah diantara kalian." (HR. al-Bukhari)
Dhu'afa' (orang-orang lemah) klasifikasinya bermacam-macam, ada fuqara, yatim, miskin, orang sakit, orang asing, wanita yang terlantar, hamba sahaya dan lain sebagainya.

Serius di dalam Beribadah

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu, dari Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, "Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, artinya,
"Wahai Anak Adam Bersungguh-sungguhlah engkau beribadah kepada Ku, maka Aku akan memenuhi dadamu dengan kecukupan dan Aku menanggung kefakiranmu. Jika engkau tidak melakukan itu maka Aku akan memenuhi dadamu dengan kesibukan dan Aku tidak menanggung kefakiranmu."
Tekun beribadah bukan berarti siang malam duduk di dalam masjid serta tidak bekerja, namun yang dimaksudkan adalah menghadirkan hati dan raga dalam beribadah, tunduk dan khusyu' hanya kepada Allah, merasa sedang menghadap Pencipta dan Penguasanya, yakin sepenuhnya bahwa dirinya sedang bermunajat, mengadu kepada Dzat Yang menguasai Langit dan Bumi.

Dan masih banyak lagi pintu-pintu rizki yang lain, seperti hijrah, jihad, bersyukur, menikah, bersandar kepada Allah, meninggalkan kemaksiatan, istiqamah serta melakukan ketaatan, yang tidak dapat di sampaikan secara lebih rinci dalam lembar yang terbatas ini. Mudah-mudahan Allah memberi kan taufik dan bimbingan kepada kita semua. Amin.

( Sumber: Kutaib “Al Asbab al Jalibah lir Rizqi”, al-qism al-ilmi Darul Wathan. )


3 Makna Zuhud


Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan

Kesimpulannya, zuhud terhadap dunia bisa ditafsirkan dengan tiga pengertian yang kesemuanya merupakan amalan hati dan bukan amalan tubuh. Oleh karenanya, Abu Sulaiman mengatakan,

لَا تَشْهَدْ لِأَحَدٍ بِالزُّهْدِ، فَإِنَّ الزُّهْدَ فِي الْقَلْبِ

“Janganlah engkau mempersaksikan bahwa seorang itu telah berlaku zuhud (secara lahiriah), karena zuhud itu letaknya di hati”

Makna pertama

Zuhud adalah hamba lebih meyakini rezeki yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tangannya. Hal ini tumbuh dari bersih dan kuatnya keyakinan, karena sesungguhnya Allah telah menanggung dan memastikan jatah rezeki setiap hamba-Nya sebagaimana firman-Nya,

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأرْضِ إِلا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا (٦)

“Dan tidak ada suatu binatang melata[709] pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya [Huud: 6].

Dia juga berfirman,

وَفِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ (٢٢)

“Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu [Adz Dzaariyaat: 22].

فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ (١٧)

“Maka mintalah rezeki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia [Ankabuut: 17].

Al Hasan mengatakan,

إِنَّ مِنْ ضَعْفِ يَقِينِكَ أَنْ تَكُونَ بِمَا فِي يَدِكَ أَوْثَقَ مِنْكَ بِمَا فِي يَدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

“Salah satu bentuk lemahnya keyakinanmu terhadap Allah adalah anda lebih meyakini apa yang ada ditangan daripada apa yang ada di tangan-Nya”.

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, beliau mengatakan,

إِنَّ أَرْجَى مَا أَكُونُ لِلرِّزْقِ إِذَا قَالُوا لَيْسَ فِي الْبَيْتِ دَقِيقٌ

“Momen yang paling aku harapkan untuk memperoleh rezeki adalah ketika mereka mengatakan, “Tidak ada lagi tepung yang tersisa untuk membuat makanan di rumah”

Masruq mengatakan,

إِنَّ أَحْسَنَ مَا أَكُونُ ظَنًّا حِينَ يَقُولُ الْخَادِمُ: لَيْسَ فِي الْبَيْتِ قَفِيزٌ مِنْ قَمْحٍ وَلَا دِرْهَمٌ

“Situasi dimana saya mempertebal husnuzhanku adalah ketika pembantu mengatakan, “Di rumah tidak ada lagi gandum maupun dirham.” [Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah (34871); Ad Dainuri dalam Al Majalisah (2744); Abu Nu'aim dalam Al Hilyah (2/97)].

Imam Ahmad mengatakan,

أَسَرُّ أَيَّامِي إِلَيَّ يَوْمٌ أُصْبِحُ وَلَيْسَ عِنْدِي شَيْءٌ

“Hari yang paling bahagia menurutku adalah ketika saya memasuki waktu Subuh dan saya tidak memiliki apapun.” [Shifatush Shafwah 3/345].

Abu Hazim Az Zahid pernah ditanya,

مَا مَالُكَ؟

“Apa hartamu”,

beliau menjawab,

لِي مَالَانِ لَا أَخْشَى مَعَهُمَا الْفَقْرَ: الثِّقَةُ بِاللَّهِ، وَالْيَأْسُ مِمَّا فِي أَيْدِي النَّاسِ

“Saya memiliki dua harta dan dengan keduanya saya tidak takut miskin. Keduanya adalah ats tsiqqatu billah (yakin kepada Allah) dan tidak mengharapkan harta yang dimiliki oleh orang lain [Diriwayatkan Ad Dainuri dalam Al Mujalasah (963); Abu Nu'aim dalam Al Hilyah 3/231-232].

Pernah juga beliau ditanya,

أَنَا أَخَافُ الْفَقْرَ وَمَوْلَايَ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَمَا تَحْتَ الثَّرَى؟ !

“Tidakkah anda khawatir akan kefakiran?” Beliau menjawab, “Bagaimana bisa saya takut fakir sementara Pemelihara-ku memiliki segala yang ada di langit, bumi, apa yang ada diantara keduanya, dan di bawah tanah.”

Selembar kertas pernah diserahkan kepada ‘Ali ibnu Muwaffaq, dia pun membacanya dan di dalamnya tertulis,

يَا عَلِيَّ بْنُ الْمُوَفَّقِ أَتَخَافُ الْفَقْرَ وَأَنَا رَبُّكَ؟

“Wahai ‘Ali ibnul Muwaffaq, masihkah engkau takut akan kefakiran sementara Aku adalah Rabb-mu?”

Al Fudhai bin ‘Iyadh mengatakan,

أَصْلُ الزُّهْدِ الرِّضَا عَنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

“Akar zuhud adalah ridha terhadap apa yang ditetapkan Allah ‘azza wa jalla.” [Diriwayatkan Ad Dainuri dalam Al Mujalasah (960, 3045); Abu 'Abdirrahman As Sulami dalam Thabaqatush Shufiyah (10)].

Beliau juga mengatakan,

الْقَنُوعُ هُوَ الزُّهِدُ وَهُوَ الْغِنَى

“Qana’ah (puas atas apa yang diberikan oleh Allah ta’ala) merupakan sikap zuhud dan itulah kekayaan yang sesungguhnya.”

Dengan demikian, setiap orang yang merealisasikan rasa yakin kepada Allah, mempercayakan segala urusannya kepada Allah, ridha terhadap segala pengaturan-Nya, memutus ketergantungan kepada makhluk baik rasa takut dan harapnya, dan semua hal tadi menghalanginya untuk mencari dunia dengan sebab-sebab yang dibenci, maka setiap orang yang keadaannya demikian sesungguhnya dia telah bersikap zuhud terhadap dunia. Dia termasuk orang yang kaya meski tidak memiliki secuil harta dunia sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Ammar,

كَفَى بِالْمَوْتِ وَاعِظًا، وَكَفَى بِالْيَقِينِ غِنًى، وَكَفَى بِالْعِبَادَةِ شُغُلًا

“Cukuplah kematian sebagai nasehat, yakin kepada Allah sebagai kekayaan, dan ibadah sebagai kesibukan.” [Diriwayatkan Al Baihaqi dalam Syu'abul Iman (10556) dari 'Ammar bin Yasar secara marfu'].

Ibnu Mas’ud mengatakan,

الْيَقِينُ أَنْ لَا تُرْضِيَ النَّاسَ بِسُخْطِ اللَّهِ، وَلَا تَحْمَدَ أَحَدًا عَلَى رِزْقِ اللَّهِ، وَلَا تَلُمْ أَحَدًا عَلَى مَا لَمْ يُؤْتِكَ اللَّهُ، فَإِنَّ الرِّزْقَ لَا يَسُوقُهُ حِرْصُ حَرِيصٍ، وَلَا يَرُدُّهُ كَرَاهَةُ كَارِهٍ، فَإِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى – بِقِسْطِهِ وَعِلْمِهِ وَحُكْمِهِ – جَعَلَ الرَّوْحَ وَالْفَرَحَ فِي الْيَقِينِ وَالرِّضَا، وَجَعَلَ الْهَمَّ وَالْحُزْنَ فِي الشَّكِّ وَالسُّخْطِ

“Al Yaqin adalah engkau tidak mencari ridha manusia dengan kemurkaan Allah, engkau tidak memuji seseorang demi mendapatkan rezeki yang berasal dari Allah, dan tidak mencela seseorang atas sesuatu yang tidak diberikan Allah kepadamu. Sesungguhnya rezeki tidak akan diperoleh dengan ketamakan seseorang dan tidak akan tertolak karena kebencian seseorang. Sesungguhnya Allah ta’ala –dengan keadilan, ilmu, dan hikmah-Nya- menjadikan ketenangan dan kelapangan ada di dalam rasa yakin dan ridha kepada-Nya sserta menjadikan kegelisahan dan kesedihan ada di dalam keraguan dan kebencian” [Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Al Yaqin (118) dan Al Baihaqi dalam Syu'abul Iman (209)].

Di dalam sebuah hadits mursal disebutkan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a dengan do’a berikut,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ إِيمَانًا يُبَاشِرُ قَلْبِي، وَيَقِينًا [صَادِقًا] حَتَّى أَعْلَمَ أَنَّهُ لَا يَمْنَعُنِي رِزْقًا قَسَمْتَهُ لِي، وَرَضِّنِي مِنَ الْمَعِيشَةِ بِمَا قَسَمْتَ لِي

“Ya Allah saya memohon kepada-Mu iman yang mampu mengendalikan hatiku, keyakinan yang benar sehingga saya mengetahui bahwasanya hal itu tidak menghalangi rezeki yang telah Engkau bagikan kepadaku, dan jadikanlah saya ridha atas sumber penghidupan yang telah Engkau bagikan kepadaku.” [Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Al Yaqin (112)].

Dulu, ‘Atha Al Khurasani tidak akan beranjak dari majelisnya hingga mengucapkan,

اللَّهُمَّ هَبْ لَنَا يَقِينًا مِنْكَ حَتَّى تُهَوِّنَ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا، وَحَتَّى نَعْلَمَ أَنَّهُ لَا يُصِيبُنَا إِلَّا مَا كَتَبْتَ عَلَيْنَا، وَلَا يُصِيبُنَا مِنَ الرِّزْقِ إِلَّا مَا قَسَمْتَ لَنَا

“Ya Allah, berilah kami rasa yakin terhadap diri-Mu sehingga mampu menjadikan kami menganggap ringan musibah dunia yang ada, sehingga kami meyakini bahwa tidak ada yang menimpa kami kecuali apa yang telah Engkau tetapkan kepada kami, dan meyakini bahwa rezeki yang kami peroleh adalah apa yang telah Engkau bagi kepada kami.” [Driwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Al Yaqin (108)].

Diriwayatkan kepada kami secara marfu’ bahwa Ibnu ‘Abbas mengatakan,

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَكُونَ أَغْنَى النَّاسِ، فَلْيَكُنْ بِمَا فِي يَدِ اللَّهِ أَوْثَقَ مِنْهُ بِمَا فِي يَدِهِ

“Barangsiapa yang suka menjadi orang terkaya, maka hendaklah dia lebih yakin terhadap apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tangannya.” [Diriwayatkan Abu Nu'aim dalam Al Hilyah 3/218-219; Al Qadha'i dalamMusnad Asy Syihab (367 & 368) dari hadits 'Abdullah bin 'Abbas].

Makna Kedua

Zuhud adalah apabila hamba tertimpa musibah dalam kehidupan dunia seperti hilangnya harta, anak, atau selainnya, maka dia lebih senang memperoleh pahala atas hilangnya hal tersebut daripada hal itu tetap berada di sampingnya. Hal ini juga muncul dari sempurnanya rasa yakin kepada Allah.

Diriwayatkan dari ‘Ibnu ‘Umar bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata dalam do’anya,

اَللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَاتَحُوْلُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعْصِيَتِكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَابِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَاتُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا

“Ya Allah, anugerahkan kepada kami rasa takut kepada-Mu yang membatasi antara kami dengan perbuatan maksiat kepadamu dan berikan ketaatan kepada-Mu yang mengantarkan kami ke surga-Mu dan anugerahkan pula keyakinan yang akan menyebabkan ringan bagi kami segala musibah di dunia ini.” [HR. Tirmidzi (3502); An Nasaai dalam 'Amalul Yaum wal Lailah (402); Al Hakim (1/528); Al Baghawi (1374). At Tirmidzi mengatakan, "Hadits hasan gharib"].

Do’a tersebut merupakan tanda zuhud dan minimnya kecintaan kepada dunia sebagaimana yan dikatakan oleh ‘Ali radhiallahu ‘anhu,

مَنْ زَهِدَ الدُّنْيَا، هَانَتْ عَلَيْهِ الْمُصِيبَاتُ

“Barangsiapa yang zuhud terhadap dunia, maka berbagai musibah akan terasa ringan olehnya.”

Makna Ketiga

Zuhud adalah hamba memandang sama orang yang memuji dan mencelanya ketika dirinya berada di atas kebenaran. Hal ini merupakan tanda bahwa dirinya zuhud terhadap dunia, menganggapnya sebagai sesuatu yang remeh, dan minimnya kecintaan dirinya kepada dunia.

Sesungguhnya setiap orang yang mengagungkan dunia akan cinta kepada pujian dan benci pada celaan. Terkadang hal itu menggiring dirinya untuk tidak mengamalkan kebenaran karena takut celaan dan melakukan berbagai kebatilan karena ingin pujian.

Dengan demikian, setiap orang yang memandang sama orang yang memuji dan mencelanya ketika dirinya berada di atas kebenaran, maka hal ini menunjukkan bahwa jabatan/kedudukan yang dimiliki manusia tidaklah berpengaruh di dalam hatinya dan juga menunjukkan bahwa hatinya dipenuhi rasa cinta akan kebenaran serta ridha kepada Allah. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud,

الْيَقِينُ أَنْ لَا تُرْضِيَ النَّاسَ بِسُخْطِ اللَّهِ

“Yakin itu adalah engkau tidak mencari ridha manusia dengan cara menimbulkan kemurkaan Allah. Dan sungguh Allah telah memuji mereka yang berjuang di jalan-Nya dan tidak takut akan celaan.”

Sumber : Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hlm. 644-646.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Artikel www.muslim.or.id

Jumat, 18 Maret 2011

Menerima Kekurangan Pasangan Akan Berbuah Pahala

Ketika dua anak cucu adam sedang dimabuk cinta, semua yang ada pada pasangan adalah indah dan menarik. semua nampak mempesona, rasa ingin selalu disampingnya menyeret perasaan serta pikiran. singkat kata apapun yang dari dia adalah elok.

dalam pandangan kita saat itu dialah yang terbaik bagi kita, kasih sayangnya, perhatiannya, sungguh tiada tara, namun setelah akad nikah berlangsung, bulan madu pun sudah lewat, barulah muncul, sifat-sifat asli mulai nampak jelas, tak jarang sifat baik yang ditunjukkan waktu sebelum nikah sirna berganti dengan sifa sebaliknya, atau minimal ada sifat-sifat buruk dia yang tidak kita sukai, masih mending kalau itu hanya sifat-sifat yang tidak prinsipil, tapi jika perangai buruk itu berupa hal-hal prinsipil bisa sangat menyiksa.

memang tak ada manusia yang sempurna, dibalik sifat-sifat baiknya tentu ada juga sifat-sifat yang kurang kita senangi, inilah ujian, seorang suami yang shaleh kadang punya istri yang bertolak belakang, suaminya demen beramal shodaqoh,istrinya pelitnya minta ampun, atau sebaliknya.

bersabar menghadapi akhlaq yang tidak baik pasangan kita merupakan suatu amalan yang besar pahalanya.

Rasulullah SAW bersabda, ” Lelaki mana saja yang bersabar atas akhlaq jelek isterinya, Allah SWT akan memberikan pahala kepadanya seperti yang DIA berikan kepada Ayyub AS, karena kesabarannya atas bala’ yang menimpanya. Dan perempuan mana saja yang bersabar atas akhlaq buruk suaminya, Allah SWT akan memeberikan pahala kepadanya seperti yang DIA berikan kepada Aisyah binti Muza’im, istri fir’aun “. ( HR. Ath-Thabrani )

Sebagai penutup penulis teringat kisah tentang seseorang yang terkenal sebagai waliyullah, suatu hari sang waliyullah ini kedatangan seorang tamu, karena ada hal penting yang perlu penjelasan panjang lebar, sang tamu diminta menginap, pagi harinya sebelum tamunya pamit pulang, sang waliyullah ini mempersilahkannya untuk sarapan ala kadarnya. Sang wali pun masuk kedalam rumah mengambil nasi beserta lauk pauknya, samar-samar si tamu mendengar istri sang wali dengan nada kesal bicara sama suaminya ” abah ini bagaimana, sudah tahu nasinya sedikit koq mau diberikan tamu?” sang wali pun menjawab dengan suara lembut dan pelan sehingga si tamu tidak begitu jelas apa yang diucapkan sang wali.

Selesai sarapan pagi, si tamu berpamit hendak pulang, tapi karena penasaran dia memberanikan diri bertanya kepada sang wali perihal istrinya yang dalam pandangannya ” berani” dengan suaminya.

” Njenengan(anda ) kan seorang wali, yang do’anya mustajab, dimana-mana dihormati orang, bagaimana bisa istri anda sikapnya demikian dengan njenengan? ” si tamu bertanya karena penasaran

Dengan didahukui senyumannya yang khas sang wali menjawab,

” justru karena sikap istri saya itulah yang menjadikan saya dianugerahi kelebihan seperti sekarang ini ”

” lho koq bisa? ” si tamu tambah penasaran

” saya menerima & bersabar dengan sikap istri saya seperti yang kamu ketahui tadi, dan karena kesabaran itulah Allah menganugerahi kelebihan kepadaku, mungkin kalau istriku tidak begitu, belum tentu saya memperoleh ladang amal kesabaran seperti sekarang ini “.

Si tamu pun akhirnya mafhum, jelas dengan jawaban sang waliyullah, dia pamit pulang, kata-kata terakhir dari sang wali yang masih berngiang ditelinganya ;

” jangan mengharapkan pasangan kita sempurna seperti yang kita inginkan, sebaliknya kita yang seharusnya menyesuaikan diri dengan segala kekurangannya, sebab tak ada manusia yang sempurna ”

Jumat, 11 Maret 2011

Iman dalam Pandangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Posted: 31 Jan 2011 04:00 PM PST

Pembicaraan tentang masalah iman merupakan salah satu perkara penting yang mendasar. Bahkan ini merupakan dasar aqidah seorang muslim. Salah dalam memahami keimanan bisa menyebabkan seseorang terjerumus dalam keharaman, kebid’ahan, bahkan bisa berujung kekafiran. Semoga sekelumit pembahasan masalah iman ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

[Definisi Iman]

Para ulama mendefinisikan iman yaitu ucapan dengan lisan, keyakinan hati, serta pengamalan dengan anggota badan, bisa bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Inilah makna iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mayoritas Ahlus Sunnah mengartikan iman mencakup i’tiqad (keyakinan), perkataan, dan perbuatan.

Imam Muhammad bin Isma’il bin Muhammad bin al Fadhl at Taimi al Asbahani mengatakan : “ Iman menurut pandangan syariat adalah pembenaran hati, dan amalan anggota badan”.

Imam Al Baghawi mengatakan : ” Para sahabat, tabi’in, dan ulama ahlis sunnah sesudah mereka bahwa amal termasuk keimanan… mereka mengatakan bahwa iman adalah perkataan, amalan, dan aqidah

Al Imam Asy Syafi’i berkata dalam kitab Al Umm : “ Telah terjadi ijma’ (konsesus) di kalangan para sahabat, para tabi’in, dan pengikut sesudah mereka dari yang kami dapatkan bahwasanya iman adalah perkataan, amal, dan niat. Tidaklah cukup salah satu saja tanpa mencakup ketiga unsur yang lainnya

Al Imam Al Laalikaa-i meriwayatkan dari Imam Bukhari : “ Aku telah bertemu lebih dari seribu ulama dari berbagai negeri. Tidak aku dapatkan satupun di antara mereka berselisih bahwasanya iman adalah ucapan dan perbuatan,bisa bertambah dan berkurang

Kesimpulannya menurut definisi syariat tentang iman bahwasanya iman mencakup perkataan dan perbuatan. Perkataan mencakup dua hal : perkataan hati, yaitu i’tiqad (keyakinan) dan perkataan lisan. Perbuatan juga mencakup dua hal yati perbuatan hati, yaitu niat dan ikhlas, serta perbuatan anggota badan. Sehingga tidak ada perbedaan makna dari ucapan para ulama di atas, yang ada hanya sebatas perbedaan istilah saja.[1]

[Iman Mencakup Keyakinan, Perkataan, dan Perbuatan]

Berikut dalil-dalil yang menjelaskan bahwa iman mencakup keyakinan hati, perkataan, dan perbuatan.

Dalil tentang keyakinan hati :

Allah Ta’ala berfirman :

وَلَمَّا يَدْخُلِ اْلإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ

karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu” (Al Hujurat:14)

الْإِيمَانَ قُلُوبِهِمُ فِي كَتَبَ

Meraka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka” (Al Mujaadilah:22)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ الإِيمَانُ قَلْبَهُ

Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya namun keimanannya belum masuk ke dalam hatinya”[2]

Dalil tentang perkataan lisan :

Firman Allah Ta’ala :

قُولُوا ءَامَنَّا بِاللهِ وَمَآأُنزِلَ إِلَيْنَا وَمَآأُنزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَاْلأَسْبَاطِ وَمَآأُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَآأُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمْ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْهُمْ وِنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ {136}

Katakanlah (hai orang-orang mu’min): “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya” (Al Baqarah:136)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ فَمَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ فَقَدْ عَصَمَ مِنِّى مَالَهُ وَنَفْسَهُ إِلاَّ بِحَقِّهِ وَحِسَابُهُ عَلَى اللَّهِ

Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan, ‘Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah’, maka barangsiapa yang mengucapkan, ‘Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah’, maka sungguh dia telah menjaga harta dan jiwanya dari (seranganku) kecuali dengan hak Islam, dan hisabnya diserahkan kepada Allah”[3]

Dalil tentang amalan anggota badan :

Allah Ta’ala berfirman :

وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ … {143}

dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu (shalatmu)” (Al Baqarah:143)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَ يَزْنِى الزَّانِى حِينَ يَزْنِى وَهُوَ مُؤْمِنٌ

Seorang mukmin tidak disebut mukmin saat ia berzina”[4]

Dan masih banyak dalil-dalil lain dari al Quran dan hadist yang menunjukkan bahwa iman mencakup keyakinan, perkataan, dan perbuatan[5]

[Iman Bisa Bertambah dan juga Berkurang]

Di antara keyakinan yang benar tentang iman adalah bahwasanya iman dapat bertambah dan juga dapat berkurang. Bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala :

فَزَادَهُمْ إِيمَانًا

maka perkataan itu menambah keimanan mereka” (Ali Imran :173)

لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَّعَ إِيمَانِهِمْ {4}

supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada)” (Al Fath:4)

Nabi Shalallahu ‘alihi wa sallam bersabda :

يَخْرُجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَكَانَ فِى قَلْبِهِ مِنَ الْخَيْرِ مَا يَزِنُ ذَرَّةً

akan keluar dari neraka, orang yang mengucapkan, ‘Laa Ilaaha Illaahu (Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah) ‘, dan di dalam hatinya terdapat kebaikan seberat biji sawi”[6]

Dalam hadist di atas nabi menjelaskan bahwa iman bertingkat-tingkat. Jika sesuatu bisa mengalami penambahan, maka bisa juga berkurang, karena konsekuensi dari penambahan adalah sesuatu yang diberi tambahan itu lebih kurang daripada yang bartambah.[7]

Iman dapat bertambah disebabkan karena bebrapa hal :

1. Mengenal Allah Ta’ala melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Semakin seseorang mengenal Allah, keimanannya semkain bertambah.

2. Memperhatikan ayat-ayat Allah baik ayat-ayat kauniyah maupun ayat syar’iyah.

3. Banyak melakukan ketaaatan.

4. Meninggalkan kemakisatan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah

Adapun ha-hal yang dapat mengurangi keimanan di antaranya :

1. Berpaling dari mengenal Allah dan nama-nama serta sifat-sifat-Nya

2. Tidak mau memperhatikan ayat-ayat kauniyah dan syar’iyah

3. Sedikitnya amal shalih

4. Melakukan kemaksiatan kepada Allah[8]

[Iman Memiliki Banyak Cabang]

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ

Iman itu ada tujuh puluh tiga sampai tujuh puluh sembilan, atau enam puluh tiga sampai enam puluh sembilan cabang. Yang paling utama adalah perkataan, Laa illaaha illallah (Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah). Dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu itu adalah sebagian dari iman.”[9]

Hadist ini diantara dalil yang menunjukkan bahwa iman mencakup keyakinan hati dan amalan hati, perkataan lisan, dan juga perbuatan anggota badan .Selain itu, hadist ini juga menunjukkan bahwa iman itu memiliki cabang-cabang.

Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : “ Pokok keimanan memiliki cabang yang banyak. Setiap cabang adalah bagian dari iman. Shalat adalah cabang keimanan, begitu pula zakat, haji, puasa, dan amalan-amalan hati seperti malu, tawakal… Di antara cabang-cabang tersebut adacabang yang jika hilang maka akan membatalkan keimanan seperti cabang syahadat. Ada pula cabang yang jika hilang tidak membatalkan keimanan seperti menyingkirkan gangguan dari jalan. Di antara dua cabang tersebut terdapat cabang-cabang keimanan lain yang bertingkat-tingkat. Ada cabang yang mengikuti dan lebih dekat ke cabanag syahadat. Ada pula yang mengikuti dan lebih dekat ke cabang menyingkirkan gangguan dari jalan. Demikian pula kekafiran, memiliki pokok dan cabng-cabang. Sebagaimana cabang iman adalah termasuk keimanan, maka cabang kekafiran juga termasuk kekafiran. Malu adalah cabang iman, maka berkurangnya rasa malu merupakan cabang dari kekafiran. Jujur adalah cabang iman, sedangkan dusta adalah cabang kekafiran. Maksiat seluruhnya adalah cabang kekafiran, sebgaiaman semua ketaatan adalah cabang keimanan”[10]

[Keimanan Betingkat-Tingkat]

Syaikh Ibnu Baaz ketika mengomentari perkataan Imam at Thahawi “ Iman adalah satu kesatuan dan pemiliknya memiliki keimanan yang sama” mengatakan : “Perkataan Imam at Thahawi ini perlu ditinjau lagi, bahkan ini merupakan perkataan yang batil. Orang yang beriman tidaklah sama dalam keimanannya. Justru sebaliknya, mereka memiliki keimanan yang bertingkat-tingkat dengan perbedaan yang mencolok. Iman para rasul tidaklah dapat disamakan dengan iman selain mereka. Demikian pula iman para al khulafaur rasyidin beserta para sahabat yang lain, tidaklah sama dengan yang lainnya. Iman orang-orang yang betul-betul beriman juga tidak sama dengan iman orang yang fasik. Hal ini didasari pada perbedaan yang ada dalam hati, berupa pengenalan terhadap Allah, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, dan segala yang disyariatkan bagi hamba-Nya. Inilah pendapat Ahlus sunnah wal jama’ah, berbeda dengan pendapat murjiah dan yang sepaham dengan mereka.Wallahul musta’an “[11]

Permasalahan ini sangat jelas jika kita melihat dalil-dalil yang ada dalam al Quran dan as Sunnah serta realita yang terjadi bahwa keimanan itu bertingkat-tingkat.

Allah melebihkan sebagian rasul dibandingkan rasul yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman :

تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ مِّنْهُم مَّن كَلَّمَ اللهُ وَرَفَعَ بَعْضَهُمْ دَرَجَاتٍ … {253}

Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat. …” (Al Baqarah:253)

Pemberian keutamaan sebgaian rasul dibandingkan yang lain disebabkan perbedaan tingkat keimanan mereka. Demikian pula di antara para rasul ada yang termasuk ulul ‘azmi. Mereka adalah rasul-rasul yang memiliki kedudukan yang paling agung dan derajat yang paling tinggi. Para rasul tidak sama semua kedudukannaya di sisi Allah.

Allah Ta’ala berfirman :

فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُوْلُوا الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ … {35}

Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul …” (Al Ahqaf:35)

Demikian pula keimanan para sahabat. Keimanan mereka berbeda-beda. Keimanan yang paling tingggi adalah keimanan yang dimiliki oleh Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah sahalallhu ‘alaihi wa sallam bersabda :“Seandainya keimaanan seluruh umat ditimbang dengan keimanan Abu bakar, maka keimanan Abu Bakar lebih berat”. Abu Bakar Su’bah al Qaari berkata : “Tidaklah Abu Bakar mendhaului kalian dengan banyaknya sholat dan shodaqoh, namun dengan iman yang menancap di hatinya”[12]

[Pelaku Dosa Besar Tetaplah Seorang Mukmin]

Termasuk pembahasan penting dalam masalah iman adalah dalam menghukumi pelaku dosa besar. Pada dasarnya, seorang mukmin yang melakukan kemaksiatan yang tidak sampai derajat kekafiran tetap dihukumi sebagai seorang mukmin. Inilah madzab ahlus sunnah wal jama’ah. Di antara dalilnya yaitu ayat qishos dalam firman Allah :

فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءُُ فَاتِّبَاعُ بِالْمَعْرُوفِ

Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik” (Al Baqarah:178). Mereka (pelaku maksiat) tetap dianggap saudara seiman dengan kemksiatan yang mereka lakukan. Allah juga berfirman :

وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى اْلأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِىءَ إِلَى أَمْرِ اللهِ فَإن فَآءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ {9} إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ … {10}

Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu” (Al Hujurat:9-10). Dalam ayat ini Allah menyifati dua kelompok yang berperang dengan predikat mukmin walaupun mereka saling berperang. Allah juga memberitakan bahwa mereka adalah saudara, dan persaudaraan tidaklah terwujud kecuali antara sesama kaum mukminin, bukan antara mukmin dan kafir.

Adapun orang-orang fasik yang berbuat kemakisatan, keimanan mereka tidak hilang secara total Dalil-dalil syariat terkadang menetapkan keimanan pada mereka, seperti firman Allah :

وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ

(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya (budak) yang beriman” (An Nisaa’:92). Budak beriman yang dimaksud termasuk juga budak yang fasik.

Terkadang juga dalil-dalil syariat menafikan keimanan pada mereka, seperti dalam hadist:

لاَ يَزْنِى الزَّانِى حِينَ يَزْنِى وَهُوَ مُؤْمِنٌ

Seorang mukmin tidak disebut mukmin saat ia berzina”[13]

Madzab ahlussunnah dalam menyikapi pelaku maksiat adalah tidak mengkafirkannya, namun juga tidak memutlakkan keimanan pada diri mereka. Oleh akarena itu kita katakan sebgaimana penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: “ Mereka (orang-orang fasik) adalah mukmin dengan keimanan yang kurang (tidak sempurna), atau bisa juga dikatakan mukmin dengan keimanannya dan fasik dengan dosa besarnya. Mereka tidak mendapat predikat iman secara mutlak, tidak pula hilang keimanan (secara total) dengan dosa besarnya”[14] (Matan al ‘Aqidah al Washitiyah)

[Antara Iman dan Islam]

Apa perbedaan antara iman dan islam? Kata iman dan islam terkadang disebutkan bersamaan dalam satu kalimat, namun terkadang disebutkan salah satunya saja. Jika disebutkan salah satunya saja, maka mencakup makna keduanya. Dan bila disebutkan kedua-duanya, maka iman dan islam memiliki makna yang berbeda. Jika disebutkan iman saja, maka tercakup di dalamnya makna iman dan islam. Demikian pula sebaliknya. Namun, jika desebutkan iman dan islam, maka masing-masing memilki makna sendiri-sendiri. Iman mencakup malan-amalan hati, sedangkan islam mencakup amalan-amalan lahir.

Imam Ibnu Rajab al Hambali menjelaskan : “Jika masing-masing islam dan iman disebutkan secara sendiri-sendiri (disebutkan iman saja atau islam saja) maka tidak ada perbedaan di antara keduanya. Namun, apabila disebutkan secra bersaamaan, di antara keduanya ada perbedaan. Iman adalah keyakinan hati, pengakuan dan pengenalan. Sedangkan islam adalah berserah diri kepada Allah, tunduk kepadan-Nya dengan melakukan amlan ketaatan “[15]

[Kadar Minimal Rukun Iman]

Pokok-pokok keimanan terdapat dalam rukun iman yang enam, sebagaimana diterangkan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadist Jibril :

قَالَ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

Kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari akhir, dan takdir baik dan buruk.” [16]

Masing-masing rukun iman memiliki kadar minimal sehingga dikatakan sah keimanan seseorang terhadap rukun tersebut. Secara umum, kadar minimal untuk keenam rukun iman tersebut adalah sebagai beikut

Iman kepada Allah:

- Beriman dengan wujud Allah

- Beriman dengan rububiyah Allah

- Beriman dengan uluhiyah Allah

- Beriman dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah

Iman kepada para malaikat Allah:

- Beriman dengan keberadaan para malaikat Allah

- Mengimani secara rinci nama-nama malaikat yang kita ketahui, dan mengimani secara global yang tidak kita ketahui

- Mengimani secara rinci sifat-sifat mereka yang kita ketahui, dan mengimani secara global yang tidak kita ketahui

- Mengimani secara rinci tugas-tugas mereka yang kita ketahui, dan mengimani secara global yang tidak kita ketahui

Iman kepada kitab-kitab Allah :

- Mengimanai bahwa seluruh kitab berasal dari Allah

- Mengimani secara rinci nama-nama kitab Allah yang kita ketahui dan mengimani secara global yang tidak kita ketahui

- Membenarkan berita-berita yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut

- Beramal dengan hukum-hukum yang ada di dalamnya selama belum dihapus

Iman kepada para rasul Allah :

- Mengimani bahwa seluruh risalah para rasul berasal dari Allah

- Mengimani secra rinci nama para nabi dan rasul Allah yang kita ketahui dan mengimani secara global yang tidak kita ketahui

- Membenarkan berita yang shahih yang datang dari mereka

- Beramal dengan syariat Rasul yang diutus kepada kita (yaitu Muhammad shalallhu ‘alaihi wa sallam)

Iman kepada hari akhir :

- Beriman dengan hari kebangkitan

- Beriman dengan hari perhitungan dan pembalasan (al hisaab wal jazaa’)

- Beriman dengan surga dan neraka

- Beriman dengan segala sesuatu yang terjadi setelah kematian

Iman kepada takdir Allah :

- Beriman bahwasanya Allah mengetahui segala sesuatu yang terjadi

- Beriman bahwasanya Allah telah menetapkan segala sesuatu di Lauh mahfudz

- Beriman bahwa segala sesuatu terjadi dengan kehendak Allah

- Beriman bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan makhluk Allah[17]

Barangsiapa yang tidak mengimani pokok-pokok yang ada pada kadar minimal rukun iman, maka batal rukun iman tersebut. Dan barangsiapa yang batal salah satu rukun iman, maka batal pula seluruh keimanannya.

[Hukum Mengatakan “ Saya Mukmin InsyaAllah”]

Bolehkah mengucapkan perkataan “Saya mukmin InsyaAllah?”. Perkataan ini diistilahkan oleh para ulama dengan al istisnaa’ fil iman(pengecualian dalam keimanan). Manusia terbagi menjadi tiga kelompok dalam masalah ini. Ada yang mengharamkannya secara mutlak, ada yang membolehkannya secara mutlak, dan ada yang merinci hukumnya.

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang hukum perkataan : Saya mukmin Insya Allah”. Beliau menjelaskan : “ Perkataan seseorang ‘Saya mukmin Insya Allah’ diistilahkan oleh para ulama dengan al istisnaa’ fil iman(pengecualian dalam keimanan). Masalah ini perlu perincian :

1. Jika istisna’ muncul karena ragu dengan adanya pokok keimanan maka ini merupakan keharaman bahkan kekafiran.. Karena iman adalah sesuatu yang pasti (yakin) sedangkan keraguan membatalkan keimanan.

2. Jika istisna’ muncul karena khawatir terjatuh dalam tazkiyatun nafsi (menyucikan diri), namun tetap disertai penerapan iman secara perkataan, perbuatan, dan keyakinan, maka hal ini sesuatu yang wajib karena adanya rasa khawatir terhadap sesuatu yang berbahaya yang dapat merusak iman.

3. Jika maksud istisna’ adalah bertabaruk dengan menyebut masyiah (kehendak Allah) atau untuk menjelaskan alasan, dan iman yang ada dalam hati tetap tergantung kehendak Allah, maka hal ini diperbolehkan. Dan penjelasan untuk penyebutan alasan (bayaani ta’lil) tidaklah meniadakan pembenaran iman. Telah terdapat penjelasan hal ini seperti dalam firman Allah :

َتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِن شَآءَ اللهُ ءَامِنِينَ مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ لاَتَخَافُونَ …{27}

… bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut…” (Al Fath :27). Dan juga dalam do’a Nabi ketika ziarah kubur :

وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لاَحِقُونَ “ dan kami insya Allah akan menyusul kalian”[18]

Dengan penjelasan di atas, maka tidak boleh memutlakkan hukum dalam masalah al istisna’ fil iman. Yang benar adalah merinci masalah ini[19].

Demikian beberapa penjelasan mengenai permasalahan iman. Semoga bermanfaat.

Alhamdulillahiladzi bi ni’matihi tatimus shaalihaat

Penulis: Adika Mianoki

Artikel www.muslim.or.id

Catatan kaki

[1]. Lihat Nawaaqidul Iman al I’tiqodiyyah wa Dhowabitu Takfiir ‘inda as Salaf I/35-37

[2]. H.R Abu Dawud, Ahmad, Tirmidzi. Dishahihkan Albani dalam Shohihul Jaami’ VI/308

[3]. H.R Muslim22

[4]. H.R. Muslim 57

[5]. Lihat dalil-dalil yang lebih lengkap dan penjelasannya dalam Nawaaqidul Iman I/38-54

[6]. H.R Muslim 193

[7]. Syarh Lum’atil I’tiqad 57, Syaikh Muhammad bin Sholeh al ‘Utsaimin

[8]. Diringkas dari Syarh al ‘Aqidah al Wasithiyah 594-596, Syaikh ‘Utsaimin. Kumpulan Ulama.

[9]. H.R Muslim 58

[10]. Dinukil dari Nawaaqidul Iman I/55-56

[11]. Ta’liq Syaikh Ibnu Baaz terhadap al ‘Aqidah at Thahawiyah. Dalam Jaami’us Syuruh al ‘Aqidah ath Thahawiyah II/488. Cet. Darul Ibnul Jauzi.

[12]. Lihat Syarh al ‘Aqidah at Thahawiyah, Syaikh Sholeh Alu Syaikh. Dalam Jaami’us Syuruh al ‘Aqidah ath Thahawiyah II/488

[13]. H.R. Muslim 57

[14]. Matan al ‘Aqidah al Washitiyah

[15]. Jaamiul ‘Ulum wal Hikam 63, Ibnu Rajab Al Hambali.

[16]. H.R. Muslim 8

[17]. Silakan simak pembahasan lengkapnya dalam Syarh Ushul Iman, Syaikh Muhammad bin Sholeh al ‘Utsaimin.

[18]. H.R Muslim 974

[19]. Alfaadz wa Mafaahim fii Mizani as Syar’i wa ad Diin 28-29, Syaikh Muhammad bin Sholeh al ‘Utsaimin.