Minggu, 23 Februari 2014

KOMUNIKASI TRANSENDENTAL DALAM ISLAM

Dalam disiplin Ilmu Komunikasi, bentuk pendekatan diri pada Sang Maha Pencipta disebut Komunikasi Transendental. Komunikasi transendental adalah komunikasi yang dilakukan atau yang terjadi antara manusia dengan Tuhannya. Jadi, partisipan dalam komunikasi transendental adalah Tuhan dan manusia.
Bagi umat muslim, cara mendekatkan diri pada Allah SWT tentu bermacam – macam, yaitu dengan shalat lima waktu, berpuasa, shalat sunat, berdzikir, menunaikan zakat, beribadah haji, infaq, sadaqah, dll. Semua itu adalah bentuk ibadah, yang dilakukan oleh umat muslim untuk mencari ridlo Allah SWT. Ketika kita melakukan shalat sesungguhnya kita sedang melakukan komunikasi dengan Tuhan. Tuhan bertindak sebagai komunikan (penerima pesan) dan kita bertindak sebagai komunikator (pengirim pesan). Pada saat itu sebenamya tidak ada pembatas antara manusia dengan Allah SWT. Komunikasi langsung terjadi asal kita benar – benar punya keyakinan yang kuat bahwa Allah ada di hadapan kita sedang memperhatikan dan mendengar doa kita.Takbir, ruku, dan sujud adalah bentuk tawadhlu kita pada-Nya, memasrahkan seluruh jiwa dan raga kita pada Allah SWT.
Dalam shalat kita berkonsentrasi penuh kepada Tuhan, seolah – olah kita sedang melihat Tuhan. Sebagaimana hadis Nabi saw, “Engkau beribadah kepada Allah seolah – olah engkau melihat Allah. Jika kamu tidak melihat-Nya, yakinkan bahwa Allah melihat engkau.”
Dari hadist tersebut, dapat dipahami bahwa dalam beribadah kepada Allah, baik shalat, berdoa, maupun berzikir, kita harus konsentrasi penuh seolah-olah sedang berdialog langsung dengan Allah. Komunikasi spiritual antara manusia dan Tuhan, bila direnungkan secara seksama, sesungguhnya dipengaruhi oleh suara hati kita yang bersih. Suara hati kita yang bersih inilah yang disebut kecerdasan spiritual.
Khusus tentang berdoa, sesungguhnya kita sedang meminta dan memohon kepada sesuatu yang lebih dari manusia, yaitu Tuhan (Allah). Ketika sedang memohon, kita sedang berkomunikasi secara transendental. Bahkan doa yang sering diucapkan oleh kaum muslimin dan muslimat setelah salat,
!$oY­/u $oYÏ?#uä Îû $u÷R9$# ZpuZ|¡ym Îûur ÍotÅzFy$# ZpuZ|¡ym $oYÏ%ur z>#xtã Í$¨Z9$#
"Ya Allah, berilah kami kebaikan didunia dan kebaikan di akhirat dan perihalalah kami dari siksa neraka" (QS. Al-Baqarah: 201). Banyak lagi dalam ayat-ayat Al-Quran yang senada dengan doa-doa tersebut.
Seperti firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 177, yang berbunyi :
* }§øŠ©9 §ŽÉ9ø9$# br& (#q9uqè? öNä3ydqã_ãr Ÿ@t6Ï% É-ÎŽô³yJø9$# É>̍øóyJø9$#ur £`Å3»s9ur §ŽÉ9ø9$# ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# Ïpx6Í´¯»n=yJø9$#ur É=»tGÅ3ø9$#ur z`¿ÍhÎ;¨Z9$#ur tA#uäur tA$yJø9$# 4n?tã ¾ÏmÎm6ãm ÍrsŒ 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur tûüÅ3»|¡yJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# tû,Î#ͬ!$¡¡9$#ur Îûur ÅU$s%Ìh9$# uQ$s%r&ur no4qn=¢Á9$# tA#uäur no4qŸ2¨9$# šcqèùqßJø9$#ur öNÏdÏôgyèÎ/ #sŒÎ) (#rßyg»tã ( tûïÎŽÉ9»¢Á9$#ur Îû Ïä!$yù't7ø9$# Ïä!#§ŽœØ9$#ur tûüÏnur Ĩù't7ø9$# 3 y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# (#qè%y|¹ ( y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)­GßJø9$# ÇÊÐÐÈ

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, Malaikatmalaikat, Kitab-kitab, Nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya, menegakkan Shalat, dan menunaikan Zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (beriman) dan mereka itulah orangorang yang bertaqwa”
Shalat yang dilakukan dengan dzikir dan doa akan sangat membantu menenangkan hati, jiwa dan raga kita sehingga gerak langkah kita hidup di dunia adalah atas dasar tutunan-Nya. Kita harus yakin bahwa tutuntan dan perlindungan Allah SWT dapat membuat hidup kita penuh makna untuk bekal di dunia dan akhirat sebagai perujudan dari komunikasi transendental yang effektif.
Dari pemaparan di atas, kita sudah memiliki gambaran apa sebenarnya komunikasi transendental. Pertanyaan selanjutnya adalah apa feedback dari komunikasi transendental dan apa efek yang diharapkan dari komunikasi transendental bagi mereka yang melakukannya. Tanda-tanda atau lambang-lambang dari komunikasi transendental, yaitu ayat-ayat Qur’aniyah (firman Allah SWT) dan ayat-ayat Kauniyah (alam semesta dan seisinya).
Firman Allah dalam Al-Qur’an surat Ali Imron, ayat 190 – 191 :
žcÎ) Îû È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur É#»n=ÏF÷z$#ur È@øŠ©9$# Í$pk¨]9$#ur ;M»tƒUy Í<'rT[{ É=»t6ø9F{$# ÇÊÒÉÈ tûïÏ%©!$# tbrãä.õtƒ ©!$# $VJ»uŠÏ% #YŠqãèè%ur 4n?tãur öNÎgÎ/qãZã_ tbr㍤6xÿtGtƒur Îû È,ù=yz ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur $uZ­/u $tB |Mø)n=yz #x»yd WxÏÜ»t/ y7oY»ysö6ß $oYÉ)sù z>#xtã Í$¨Z9$# ÇÊÒÊÈ

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) : ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.
Yang terkandung dalam ayat ini adalah betapa Allah SWT kuasa menciptakan langit dan bumi. Bagaimana kita tidak terkagum-kagum dengan melihat isi alam semesta ini. Langit yang penuh dengan bintang-bintang bertebaran di malam hari. Benda gemerlap ini bagaikan titik sinar, yang pada ukuran sebenarnya adalah seukuran matahari, bahkan mungkin ada yang lebih besar dari matahari.
Bumi yang bulat beredar mengelilingi matahari sesuai orbitnya, dengan kecepatan yang konstan. Isi bumi yang dhiuni oleh manusia ini punya kelebihan-kelebihan dibanding planet-planet yang lain, itulah yang menyebabkan manusia hanya dapat hidup di planet bumi ini. Hutan yang hijau, barang tambang yang tersimpan dalam perut bumi, udara yang diperlukan, air yang berlimpah, dan masih banyak lagi rizki yang Allah limpahkan bagi manusia di muka bumi ini. Dengan kasih sayang yang telah Allah berikan itu, tentu tidaklah pantas apabila kita tidak merasa bersyukur atas segala nikmat yang telah Allah berikan kepada manusia.
Sebagai partisipan komunikasi transendental yang efektif tentunya hati kita akan mudah tersentuh begitu melihat bulan dan bintang-bintang yang bertabaran dl langit pada malam hari karena menganggap bahwa itu bukan sekedar fenomena alam, tetapi adalah bentuk perwujudan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT.
Juga hati kita akan mudah tergetar bila mendengar atau menyebut asma Allah. Apabila hati sudah benar-benar tersentuh, kitia akan menitikkan air mata bahkan menangis tersedu mengingat betapa kecinya kita sebagai manusia di hadapan-Nya.
Firman Allah yang disebut berulang-ulang terdapat dalam surat Ar-Rahman, salah satu diantaranya pada ayat 13, yaitu :
Ädr'Î6sù ÏäIw#uä $yJä3În/u Èb$t/Éjs3è? ÇÊÌÈ
 “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” Allah SWT tentu punya maksud dengan menyebut kalimat tersebut berulang-ulang sampai tiga puluh kali hingga di akhir surat.
Surat ini memberi peringatan kepada manusia untuk selalu ingat akan kebesaran Allah, akan nikmat yang telah diberikan Allah kepada manusia agar manusia tidak angkuh, tidak sombong atas apa yang telah diperolehnya. Semua yang dimiliki hanyalah titipan belaka selama hidup di dunia, karena hidup yang sebenarnya adalah hidup sesudah mati atau alam akhirat.
Dengan berpegang pada Al-Qur’an akan makin mendekatkan manusia pada Sang Maha Pencipta, Allah SWT. Apabila manusia sudah mencapai tahap ini, maka yang ingin dilakukan adalah terus beribadah pada-Nya. Entah itu ibadah shalat yang wajib atau bentuk ibadah lainnya, seperti shalat sunat, berdzikir, dll . Seringnya frekuensi komunikasi yang dilakukan antara manusia dengan Tuhannya, akan makin meningkatkan kepekaan hati manusia terhadap tanda-tanda atau lambang-lambang kebesaran Allah SWT.
Bathin yang telah terasah oleh kalimat-kalimat Allah membuat tidak ada lagi tirai pembatas antara manusia dengan Tuhannya. Seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, Sayyidina Umar Bin Khattab, berkata : “Hatiku telah melihat Tuhanku karena hijab (tirai) telah terangkat oleh taqwa. Barangsiapa yang telah terangkat hijab (tirai) antara dirinya dan Allah, maka menjadi jelaslah di dalam hatinya akan gambaran kerajaan bumi dankerajaan langit”.
Rupanya dengan ketaqwaanlah akan mendekatkan manusia dengan Tuhannya. Ketaqwaan seseorang akan tercermin dalam sikapnya sehari-hari. Hatinya akan mudah tergetar bila mendengar atau menyebut asma Allah. Selanjutnya dia akan menitikkan air mata, bahkan menangis tersedu menyadari betapa kecilnya dirinya di hadapan Sang Maha Pencipta. Inilah feedback dari komunikasi transendental.
Dalam Hadits Qudsi dijelaskan dialog yang sebenarnya terjadi antara manusia dengan Tuhannya saat sang hamba membaca surat Al-Fatihah, yaitu; Seorang hamba berkata : úüÏJn=»yèø9$# Å_Uu !ôJysø9$# ÇËÈ “Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam”.
 Lalu bagaimana dengan efek yang diharapkan dari komunikasi transendental ini? Efek yang diharapkan tidak lain dan tidak bukan tentu saja perubahan tingkah laku seseorang yang menjadi lebih baik dari sebelumnya. Lebih sabar dan tawakal, setiap langkah yang diayunkan adalah tuntunan dari Allah SWT.
Menurut Nina Syam, filsafat Islam yang dapat memengaruhi komunikasi transendental bisa di telusuri dari dimensi transendental yang ada dalam diri manusia yaitu: ruh, qolb, aql, dan nafs.
1.Ruh
Ruh yang dimaksud Nina adalah ruh yang bermakna al-latifhah, yang berpotensi untuk mengenal dan mengetahui sesuatu (yang abtrak). Jika kita ingin mengenal diri kita, ketahuilah bahwa kita terdiri dari dua hal, yaitu hati dan apa yang dinamakan dengan jiwa, ruh. Ruh (nyawa manusia selalu mengikuti dan mengiringi apapun. Mengetahui hakikat serta mengenal sifat-sifat diri kita merupakan kunci bagi mengenal Allah swt. Oleh karena itu, kita harus melakukan mujahadat (berjuang) sehingga dapat mengenali ruh (nyawa). Ruh merupakan unsur mulia dan anasir malaikat yang sumber asalnya adalah hadirat Illahi. Dari tempat itu dia dating dan kepada-Nyalah dia akan kembali (Al-Ghazali. 2003:45)
Ruh yang bermakna al-Lathifah berpotensi untuk mengenal dan mengetahui sesuatu (yang abstrak). Ruh adalah hakikat elemen diri, sedangkan yang lain adalah asing dan sekadar pinjaman yang menempel pada diri kita. Tiap-tiap karakter memunyai santapan dan kebahagiaanya masing-masing. Kebahagian hewan terletak pada makan, minum, tidur, dan senggama. Kebahagiaan binatang buas terletak pada menghantam dan menyerang mangsanya, dan kebahagiaan setan terletak pada perbuatan tipu menipu, menganiaya dan memperdayakan. Sedangkan kebahagian malaikat terletak pada musyahadah (penyaksian) hadirat Illahi (Al-Ghazali, diterjemahkan oleh Mustafa Bisri, 2003). Lalu muncul pertanyaan, di mana kebahagiaan manusia berada?
Jika manusia berada pada anasir malaikat, kebahagian manusia berada pada tingkat musyahadah (penyaksian) terhadap Zat Yang Mahaagung dan Mahaindah, melepaskan diri dari belenggu nafsudan angkara murka. Dalam konteks ini, manusia harus mengenal dirinya sendiri, memahami asal muasal penciptaan manusia sehingga mampu mengenal jalan menuju hadirat Illahi. Sebagaimana sabda Nabi saw, "Man 'arafa nafsahu faqad 'arafa rabbahu" (Barangsiapa telah mengenal dirinya sendiri, maka ia akan mengenal Allahnya). Tidak ada sesuatu yang lebih dekat kepada diri kita selain kita sendiri. Jika kita tidak mengenal diri kita. bagaimana mungkin dapat mengenal Allah, Zat Yang Mahahalus.
Jika kita ingin mengenal diri kita, ketahuilah bahwa kita terdiri dari dua hal, yaitu hati dan apa yang dinamakan dengan jiwa, ruh. Ruh (nyawa) manusia selalu mengikuti dan mengiringi apa pun. Mengetahui hakikat serta mengenal sifat-sifat diri kita merupakan kunci bagi mengenal Allah swt. Oleh karena itu, kita harus melakukan mujahadat (berjuang) hingga dapat mengenali ruh (nyawa). Ruh merupakan unsur mulia dan anasir malaikat yang sumber asalnya adalah hadirat Illahi. Dari tempat itu dia dating dan kepada-Nyalah dia akan kembali (Al-Ghazali, 2003: 45).
Jadi, kita sangat sulit mengenal ruh yang sesungguhnya sebab ruh adalah urusan Allah. Seperti firman Allah swt,
štRqè=t«ó¡our Ç`tã Çyr9$# ( È@è% ßyr9$# ô`ÏB ̍øBr& În1u !$tBur OçFÏ?ré& z`ÏiB ÉOù=Ïèø9$# žwÎ) WxŠÎ=s% ÇÑÎÈ
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. Al-Israa': 85). Oleh karena itu, ruh merupakan bagian dari keseluruhan kekuasaan Ilahi dan termasuk 'alamul amri (kawasan wewenang Allah). Allah swt berfirman,
3 Ÿwr& ã&s! ß,ù=sƒø:$# âöDF{$#ur 3 x8u$t6s? ª!$# >u tûüÏHs>»yèø9$# ÇÎÍÈ
"Ingatlah penciptaan dan weuenang hanyalah hak Allah" (QS. Al- Araf: 54). Jadi, ruh adalah wewenang Allah dan tidak ada manusia yang tahu hakikat ruh yang sesungguhnya.
Sementara sebagian orang beranggapan bahwa ruh adalah sesuatu yang qadim, dan yang lainnya beranggapan bahwa ruh itu adalah gejala ('aradl). Mereka semua keliru karena gejala tidak bisa berdiri sendiri. Ia sangat bergantung dan atau mengikuti pada yang lainnya. Ruh adalah asal manusia, sedang raga manusia mengikutinya. Lalu bagaimana ia dikatakan gejala ('aradl)? Ada pula yang berpendapat bahwa ruh itu adalah jisim (jasad, tubuh). Mereka juga keliru karena jisim dapat dibagi. Ruh yang kita sebut hati dan menjadi tempat ma'rifatullah, bukanlah jisim atau gejala ('aradl), melainkan termasuk jenis malaikat (Al-Ghazali, 2003). Malaikat yang mana? Apakah malaikat yang sepuluh yang kita kenal atau malaikait yang tidak disebutkan Allah dalam Al-Quran? Ini juga perlu mendapat kajian yang mendalam.
Dengan demikian, amatlah susah mengenal ruh itu karena didalam ajaran agama tidak ditemukan suatu cara untuk mengenalinya. Artinya, membahas masalah ruh adalah unik, ajaib dan mengagumkan. Juga rabbani, di mana seluruh kekuatan akal manusia tidak akan mampu untuk mengetahui substansi dan hakikat ruh yang sebenarnya.
Filsafat tentang manusia terfokus pada filsafat jiwa (ruh). Jiwa sebagai intisari dari eksistensi manusia. Manusia tanpa jiwa bukanlah manusia yang bisa bereksistensi (hidup), melainkan manusia yang telah menjadi mumi atau bangkai yang tidak bermakna. Oleh karenaitu, bagian yang terpenting dalam diri manusia adalah jiwa. Namun, jiwa tidak banyak disinggung atau dijelaskan dalam Al-Quran atau hadis Nabi sebab jiwa (ruh) dalam pandangan Islam adalah urusan Allah. Manusia tidak punya kapasitas untuk mengurus masalah jiwa.
Menurut para filsuf Islam, Al-Quran menegaskan bahwa manusia tidak akan bisa mengetahui hakikat ruh karena ruh adalah urusan Allah, bukan urusan manusia. Tetapi, sungguh pun demikian, para filsuf Islam membahas soal ini berdasarkan pada filsafat tentang ruh yang mereka jumpai dalam filsafat Yunani.
Al-Kindi (Nasution, 1986: 17) menyatakan bahwa ruh tidak tersusun (basithah, simple, sederhana), tetapi mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia.
2.Qalb
Qalb dalam pandangan Nina sama seperti qalb dalam konsep Al-Ghazali, bahwa qalb memiliki dua makna yaitu:
a. daging yang berbentuk sanaubar (hati), yang terdapat di bagian kiri dada, dimana yang didalamnya terdapat rongga yang berisi darah hitam. Dalam rongga itulah terletak sumber atau pusat ruh (Al-Ghazali 2003, 83)
b. Sesuatu yang sangat halus (al-lathifah), tidak kasat mata dan tidak dapat diraba. Untuk mengenal Allah, hati mem erlukan kendaraan dan beka l. Kendaraannya adalah badan dan bekalnya adalah ilmu. Sementara itu yang dapat mengantarkan dan memperoleh bekal adalah kebaikan. Bagi seorang hamba, ia tidak mungkin sampai kepada Allah swt selama dirinya tidak meningg alkan kecenderungan-kecenderungan syahwat dan melampaui kehidupan dunia.
Dalam rongga terletak sumber atau pusat ruh (Al-Ghazali, 20033: 83). Al-Ghazali tidak membahas bentuk lahir dan bagaimana daging sanaubar karena hal itu merupakan tugas para dokter. Di samping itu, organ hati tidak hanya dimiliki oleh manusia, tetapi juga dimiliki oleh binatang, bahkan juga masih melekat di tubuh orang yang sudah mati. Karena istilah qalb dalam pandangan Al-Ghazali bukanlah organ hati, ia hanyalah sepotong daging yang tidak berharga. Daging dapat diraba, dan dilihat oleh indra penglihatan hewan sekali pun.
Sesuatu yang amat halus {al-Lathifah), tidak kasat mata dan tidak dapat diraba. Ia bersifat rabbani-ruhani, di mana makna sifat ini berbeda dengan qalb pada makna pertama. Hati dalam arti al-Lathifah ini merupakan jati diri dan hakikat manusia. Dia memunyai potensi untuk mengenal, mengetahui dan mengerti tentang sesuatu. Ia juga sebagai pihak yang di ajak bicara, yang dikenakan sanksi, kepercayaan dan objek yang akan dimintai pertanggungjawaban.
Pembahasan lebih rinci masalah hati dalam arti lathifah sedapat mungkin dihindari oleh Al-Ghazali, mengingat dua hal, yang salah satunya terkait dengan ilmu mukasgafah (dapat melihat sesuatuyang gaib), dan yang demikian ini di luar maksud pembahasan Al-Ghazali. Tetapi Al-Ghazali membatasi hanya pada limu-ilmu mu'amalah, yakni pengetahuan yang berkaitan dengan interaksi antar sesama manusia (al-Ghazali, 2003:84).
Hati (qalb) memiliki dua macam tentara: (a) tentara hati yang dapat dilihat dan kasat mata; dan (b) tentara hati yang hanya dapat dilihat oleh mata hati (al-.Bashirah).Hati ibarat seorang raja, dan tentara-tentaranya sebagai pembantunya. Adapun tentara hati yang dapat dilihat dan kasat mata, seperti: tangan, kaki, mulut dan seluruh anggota lahiriah lainnya. Mereka adalah pembantu-pembantu yang selalu tunduk kepadanya. Hati sebagai penggerak dan pengemudi, seluruh anggota tubuh manusia yang sengaja diciptakan oleh Allah swt diperintahkan untuk tunduk dan patuh kepada hati (al-Ghazali,2003: 93). Ketika hati memerintahkan mata untuk bergerak, terbukalah mata itu; memerintahkan kaki untuk bergerak.
Sejalan dengan itu, secara fungsional tentara hati itu memiliki tiga fungsi.
Pertama, sebagai motivator. Tentara jenis ini adakalanya mendorong manusia untuk mendapatkan hal-hal yang bermanfaat dan yang cocok baginya, seperti syahwat. Adakalanya untuk menepis kemudaratan, seperti emosi atau amarah. Ia adakalanya disebut juga keinginan atau kehendak (iradat). Kedua, sebagai penggerak (motorik) seluruh anggota tubuh guna mencapai tujuan-tujuannya. Tentara jenis ini adakalanya disebut al-Qudrah (kemampuan), yang tersebar di seluruh anggota tubuh, terutama di dalam otot-otot dan urat-urat. Ketiga, sebagai pengenal, instrumen yang dapat mengenal sesuatu. Bagi hati, ia bagaikan mata-mata (spionase). Fungsi ini diperankan indra penglihat, indra pendengar, indra peraba, indra perasa, dansebagainya yang tersebar pada anggota-anggota tubuh tertentu. Fungsi tentara jenis ini adakalanya disebut instrument pengetahuan ( al-lld) dan pencerahan (al-Idrak) (Al-Ghazali, 2003: 93).
3.Aql
Kata akal memiliki beberapa arti antara lain sebagai pengetahuan tentang hakikat sesuatu, dimana ia sebagai sifat dari ilmu dan bertempat di hati, sebagai bagian dari manusia yang memiliki kemampuan untuk menyerap ilmu pengetahuan.Dalam setiap diri seseorang terdapat unsure pengetahuan yang menempati bsebuah wadah, dan pengetahuan itu merupakan sifat yang melekat pada wadah tersebut.
Kata 'aql memiliki beberapa arti. Pertama, sebagai pengetahuan tentang hakikat sesuatu, di mana ia sebagai sifat dari ilmu dan bertempat di hati. Kedua, sebagai bagian dari manusia yang memiliki kemampuan untuk menyerap ilmu pengetahuan, dan ini adalah hati {qalb) itu sendiri (al-Lathifah). Dalam setiap diri seseorang terdapat unsure pengetahuan yang menempati sebuah wadah, dan pengetahuan itu merupakan sifat yang melekat pada wadah tersebut. Walaupun ilmu pengetahuan itu tidak identik dengan wadah yang memunyai istilah 'aql, bisa juga dimaksudkan sebagai sifat yang melekat dalam diri orang yang berpengetahuan dan bisa juga dimaksudkan untuk menyebut wadah yang menjadi tempat pengetahuan itu. Barangkali itulah yang dimaksud dalam sabda Rasulullah saw, "Awwala ma khalaqallahu" (Makhluk pertama yang diciptakan oleh Allah swt adalah akal).
Ilmu pengetahuan itu adalah sesuatu yang bersifat al-Ardh (aksiden, benda), dan ia tidak dapat digambarkan sebagai makhluk pertama. Karena seharusnya terdapat tempat dari ilmu itu sendiri sebelumnya, atau paling tidak bersamaan dengannya, sekali pun tidak terjadi bahwa perintah terhadap akal itu bersamaan dengan terjadinya akal itu sendiri. Dalam kelanjutan sebuah hadis Qudsi, Allah swt berfirman kepada akal, "Menghadaplah, maka ia pun menghadap". Kemudian diperintahkan kepadanya," Pergilah", lalu ia punpergi..."(Al-Ghazali, 2003: 89).
4.Nafs
Kata nafs memiliki beberapa persamaan seperti: nafsu, seksual, jiwa, dan sebagainya. Namun dalam konteks pembahasan ini, Al-Ghazali hanya membatsi pada dua makna. Pertama, meliputi: kekuatan emosi, amarah, dan syahwat yang terdapat dalam diri manusia. Persoalan ini lebih rinci akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya, mengingat istilah ini banyak digunakan oleh kalangan sufi. Menurut mereka, nafsu merupakan sumber dominan yang cenderung melahirkan sifat-sifat tercela dalam diri manusia. Untuk itu, menurut mereka, nafsu harus diperangi dan dipatahkan, sebagaimana disyaratkan oleh Rasulullah saw. "Yang harus lebih dimusuhi di antara musuh-musuhmu adalah jiwamu (nafsumu) yang terdapat di antara kanan dan kirimu."
Kedua, al-Lathifah seperti yang telah dibicarakan sebelumnya. Ia adalah sesuatu yang abstrak, yang membentuk diri manusia, yakni jiwa manusia (an-Nals al-Insani) dan esensinya. Jiwa manusia yang dimaksudkan di sini adalah konstruksi dari sifat-sifat nafsu yang cenderung berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan kondisi yang membangunnya. Jika jiwa manusia itu tenang, berada di bawah kendali perintah Allah swt, ia mampu menyingkirkan goncangan-goncangan yang diakibatkan daya tarik syahwatnya. Jiwa semacam itu dinamakan dengan jiwa yang tenang (an-Nals al-Muthmainah). Dalam konteks ini, Allah berfirman,
$pkçJ­ƒr'¯»tƒ ߧøÿ¨Z9$# èp¨ZÍ´yJôÜßJø9$# ÇËÐÈ ûÓÉëÅ_ö$# 4n<Î) Å7În/u ZpuŠÅÊ#u Zp¨ŠÅÊó£D ÇËÑÈ
Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Allahmu dengan rela dan direlakan (QS.Al-Fajr: 27).
Nafs pada makna yang pertama tersebut sebelumnya (baca: negatif) sulit dibayangkan akan kembali kepada Allah swt, bahkan ia dijauhkan sejauh-jauhnya dari- Nya, dan digolongkan dalam kelompok setan. Jiwa yang selalu gelisah karena selalu berseberangan dengan gejolak syahwatnya, dinamakan jiwa yang senantiasa mengecam (an-Nafs al-Lawwamah).
Sebaliknya, jika jiwa itu membiarkan pengembaraan syahwatnya dan tunduk kepada bisikan setan, dinamakan jiwa amarah (an-Nafs al-Amarah), yakni jiwa yang selalu mengajak kepada keburukan.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa nafsu amarah adalah nafsu dalam arti yang pertama, sebagai nafsu yang tercela. Sedangkan nafsu dalam arti yang kedua adalah terpuji karena ia adalah jati diri dan esensi manusia, yang memiliki kemampuan untuk mengenal Allah swt lebih jauh. Keempat dimensi inilah yang menjadi landasan Ninauntuk mengembangkan komunikasi transcendental.