Dalam disiplin Ilmu Komunikasi, bentuk pendekatan diri pada Sang
Maha Pencipta disebut Komunikasi Transendental. Komunikasi transendental adalah
komunikasi yang dilakukan atau yang terjadi antara manusia dengan Tuhannya.
Jadi, partisipan dalam komunikasi transendental adalah Tuhan dan manusia.
Bagi umat muslim, cara mendekatkan diri pada Allah SWT tentu
bermacam – macam, yaitu dengan shalat lima waktu, berpuasa, shalat sunat,
berdzikir, menunaikan zakat, beribadah haji, infaq, sadaqah, dll. Semua itu
adalah bentuk ibadah, yang dilakukan oleh umat muslim untuk mencari ridlo Allah
SWT. Ketika kita melakukan shalat sesungguhnya kita sedang melakukan komunikasi
dengan Tuhan. Tuhan bertindak sebagai komunikan (penerima pesan) dan kita
bertindak sebagai komunikator (pengirim pesan). Pada saat itu sebenamya tidak
ada pembatas antara manusia dengan Allah SWT. Komunikasi langsung terjadi asal
kita benar – benar punya keyakinan yang kuat bahwa Allah ada di hadapan kita
sedang memperhatikan dan mendengar doa kita.Takbir, ruku, dan sujud adalah
bentuk tawadhlu kita pada-Nya, memasrahkan seluruh jiwa dan raga kita pada
Allah SWT.
Dalam shalat kita berkonsentrasi penuh kepada Tuhan, seolah – olah
kita sedang melihat Tuhan. Sebagaimana hadis Nabi saw, “Engkau beribadah kepada
Allah seolah – olah engkau melihat Allah. Jika kamu tidak melihat-Nya, yakinkan
bahwa Allah melihat engkau.”
Dari hadist tersebut, dapat dipahami bahwa dalam beribadah kepada
Allah, baik shalat, berdoa, maupun berzikir, kita harus konsentrasi penuh
seolah-olah sedang berdialog langsung dengan Allah. Komunikasi spiritual antara
manusia dan Tuhan, bila direnungkan secara seksama, sesungguhnya dipengaruhi
oleh suara hati kita yang bersih. Suara hati kita yang bersih inilah yang
disebut kecerdasan spiritual.
Khusus tentang berdoa, sesungguhnya kita sedang meminta dan
memohon kepada sesuatu yang lebih dari manusia, yaitu Tuhan (Allah). Ketika
sedang memohon, kita sedang berkomunikasi secara transendental. Bahkan doa yang
sering diucapkan oleh kaum muslimin dan muslimat setelah salat,
!$oY/u $oYÏ?#uä Îû $u÷R9$# ZpuZ|¡ym Îûur ÍotÅzFy$# ZpuZ|¡ym $oYÏ%ur z>#xtã Í$¨Z9$#
"Ya Allah, berilah kami kebaikan didunia
dan kebaikan di akhirat dan perihalalah kami dari siksa
neraka" (QS. Al-Baqarah: 201). Banyak lagi dalam ayat-ayat Al-Quran
yang senada dengan doa-doa tersebut.
Seperti firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 177, yang
berbunyi :
* }§ø©9 §É9ø9$# br& (#q9uqè? öNä3ydqã_ãr @t6Ï% É-Îô³yJø9$# É>ÌøóyJø9$#ur £`Å3»s9ur §É9ø9$# ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# Ïpx6Í´¯»n=yJø9$#ur É=»tGÅ3ø9$#ur z`¿ÍhÎ;¨Z9$#ur tA#uäur tA$yJø9$# 4n?tã ¾ÏmÎm6ãm Írs 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuø9$#ur tûüÅ3»|¡yJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# tû,Î#ͬ!$¡¡9$#ur Îûur ÅU$s%Ìh9$# uQ$s%r&ur no4qn=¢Á9$# tA#uäur no4q2¨9$# cqèùqßJø9$#ur öNÏdÏôgyèÎ/ #sÎ) (#rßyg»tã ( tûïÎÉ9»¢Á9$#ur Îû Ïä!$yù't7ø9$# Ïä!#§Ø9$#ur tûüÏnur Ĩù't7ø9$# 3 y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# (#qè%y|¹ ( y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)GßJø9$# ÇÊÐÐÈ
“Bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, Hari Kemudian,
Malaikatmalaikat, Kitab-kitab, Nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya
kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan)
hamba sahaya, menegakkan Shalat, dan menunaikan Zakat, dan orang-orang yang
menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang
benar (beriman) dan mereka itulah orangorang yang bertaqwa”
Shalat yang dilakukan dengan dzikir dan doa akan sangat membantu
menenangkan hati, jiwa dan raga kita sehingga gerak langkah kita hidup di dunia
adalah atas dasar tutunan-Nya. Kita harus yakin bahwa tutuntan dan perlindungan
Allah SWT dapat membuat hidup kita penuh makna untuk bekal di dunia dan akhirat
sebagai perujudan dari komunikasi transendental yang effektif.
Dari pemaparan di atas, kita sudah memiliki gambaran apa
sebenarnya komunikasi transendental. Pertanyaan selanjutnya adalah apa feedback
dari komunikasi transendental dan apa efek yang diharapkan dari komunikasi
transendental bagi mereka yang melakukannya. Tanda-tanda atau lambang-lambang
dari komunikasi transendental, yaitu ayat-ayat Qur’aniyah (firman Allah SWT)
dan ayat-ayat Kauniyah (alam semesta dan seisinya).
Firman Allah dalam Al-Qur’an surat Ali Imron, ayat 190 – 191 :
cÎ) Îû È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur É#»n=ÏF÷z$#ur È@ø©9$# Í$pk¨]9$#ur ;M»tUy Í<'rT[{ É=»t6ø9F{$# ÇÊÒÉÈ tûïÏ%©!$# tbrãä.õt ©!$# $VJ»uÏ% #Yqãèè%ur 4n?tãur öNÎgÎ/qãZã_ tbrã¤6xÿtGtur Îû È,ù=yz ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur $uZ/u $tB |Mø)n=yz #x»yd WxÏÜ»t/ y7oY»ysö6ß $oYÉ)sù z>#xtã Í$¨Z9$# ÇÊÒÊÈ
“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring dan memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) : ya Tuhan kami, tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami
dari siksa neraka”.
Yang terkandung dalam ayat ini adalah betapa Allah SWT kuasa
menciptakan langit dan bumi. Bagaimana kita tidak terkagum-kagum dengan melihat
isi alam semesta ini. Langit yang penuh dengan bintang-bintang bertebaran di
malam hari. Benda gemerlap ini bagaikan titik sinar, yang pada ukuran
sebenarnya adalah seukuran matahari, bahkan mungkin ada yang lebih besar dari
matahari.
Bumi yang bulat beredar mengelilingi matahari sesuai orbitnya,
dengan kecepatan yang konstan. Isi bumi yang dhiuni oleh manusia ini punya
kelebihan-kelebihan dibanding planet-planet yang lain, itulah yang menyebabkan
manusia hanya dapat hidup di planet bumi ini. Hutan yang hijau, barang tambang
yang tersimpan dalam perut bumi, udara yang diperlukan, air yang berlimpah, dan
masih banyak lagi rizki yang Allah limpahkan bagi manusia di muka bumi ini.
Dengan kasih sayang yang telah Allah berikan itu, tentu tidaklah pantas apabila
kita tidak merasa bersyukur atas segala nikmat yang telah Allah berikan kepada
manusia.
Sebagai partisipan komunikasi transendental yang efektif tentunya
hati kita akan mudah tersentuh begitu melihat bulan dan bintang-bintang yang
bertabaran dl langit pada malam hari karena menganggap bahwa itu bukan sekedar
fenomena alam, tetapi adalah bentuk perwujudan kebesaran dan kekuasaan Allah
SWT.
Juga hati
kita akan mudah tergetar bila mendengar atau menyebut asma Allah. Apabila hati
sudah benar-benar tersentuh, kitia akan menitikkan air mata bahkan menangis
tersedu mengingat betapa kecinya kita sebagai manusia di hadapan-Nya.
Firman Allah yang disebut berulang-ulang terdapat dalam surat
Ar-Rahman, salah satu diantaranya pada ayat 13, yaitu :
Ädr'Î6sù ÏäIw#uä $yJä3În/u Èb$t/Éjs3è? ÇÊÌÈ
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” Allah SWT tentu punya maksud dengan menyebut kalimat tersebut
berulang-ulang sampai tiga puluh kali hingga di akhir surat.
Surat ini memberi peringatan kepada manusia untuk selalu ingat
akan kebesaran Allah, akan nikmat yang telah diberikan Allah kepada manusia
agar manusia tidak angkuh, tidak sombong atas apa yang telah diperolehnya.
Semua yang dimiliki hanyalah titipan belaka selama hidup di dunia, karena hidup
yang sebenarnya adalah hidup sesudah mati atau alam akhirat.
Dengan berpegang pada Al-Qur’an akan makin mendekatkan manusia
pada Sang Maha Pencipta, Allah SWT. Apabila manusia sudah mencapai tahap ini,
maka yang ingin dilakukan adalah terus beribadah pada-Nya. Entah itu ibadah
shalat yang wajib atau bentuk ibadah lainnya, seperti shalat sunat, berdzikir,
dll . Seringnya frekuensi komunikasi yang dilakukan antara manusia dengan
Tuhannya, akan makin meningkatkan kepekaan hati manusia terhadap tanda-tanda
atau lambang-lambang kebesaran Allah SWT.
Bathin yang telah terasah oleh kalimat-kalimat Allah membuat tidak
ada lagi tirai pembatas antara manusia dengan Tuhannya. Seorang sahabat Nabi
Muhammad SAW, Sayyidina Umar Bin Khattab, berkata : “Hatiku telah melihat
Tuhanku karena hijab (tirai) telah terangkat oleh taqwa. Barangsiapa yang telah
terangkat hijab (tirai) antara dirinya dan Allah, maka menjadi jelaslah di
dalam hatinya akan gambaran kerajaan bumi dankerajaan langit”.
Rupanya dengan ketaqwaanlah akan mendekatkan manusia dengan
Tuhannya. Ketaqwaan seseorang akan tercermin dalam sikapnya sehari-hari.
Hatinya akan mudah tergetar bila mendengar atau menyebut asma Allah.
Selanjutnya dia akan menitikkan air mata, bahkan menangis tersedu menyadari betapa
kecilnya dirinya di hadapan Sang Maha Pencipta. Inilah feedback dari komunikasi
transendental.
Dalam Hadits Qudsi dijelaskan dialog yang sebenarnya terjadi
antara manusia dengan Tuhannya saat sang hamba membaca surat Al-Fatihah, yaitu;
Seorang hamba berkata : úüÏJn=»yèø9$# Å_Uu !ôJysø9$# ÇËÈ “Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam”.
Lalu bagaimana dengan efek yang diharapkan dari komunikasi
transendental ini? Efek yang diharapkan tidak lain dan tidak bukan tentu saja
perubahan tingkah laku seseorang yang menjadi lebih baik dari sebelumnya. Lebih
sabar dan tawakal, setiap langkah yang diayunkan adalah tuntunan dari Allah
SWT.
Menurut Nina Syam, filsafat Islam yang dapat memengaruhi
komunikasi transendental bisa di telusuri dari dimensi transendental yang ada
dalam diri manusia yaitu: ruh, qolb, aql, dan nafs.
1.Ruh
Ruh yang
dimaksud Nina adalah ruh yang bermakna al-latifhah, yang berpotensi untuk
mengenal dan mengetahui sesuatu (yang abtrak). Jika kita ingin mengenal diri
kita, ketahuilah bahwa kita terdiri dari dua hal, yaitu hati dan apa yang
dinamakan dengan jiwa, ruh. Ruh (nyawa manusia selalu mengikuti dan mengiringi
apapun. Mengetahui hakikat serta mengenal sifat-sifat diri kita merupakan kunci
bagi mengenal Allah swt. Oleh karena itu, kita harus melakukan mujahadat
(berjuang) sehingga dapat mengenali ruh (nyawa). Ruh merupakan unsur mulia dan
anasir malaikat yang sumber asalnya adalah hadirat Illahi. Dari tempat itu dia
dating dan kepada-Nyalah dia akan kembali (Al-Ghazali. 2003:45)
Ruh yang
bermakna al-Lathifah berpotensi untuk mengenal dan mengetahui sesuatu (yang
abstrak). Ruh adalah hakikat elemen diri, sedangkan yang lain adalah asing dan
sekadar pinjaman yang menempel pada diri kita. Tiap-tiap karakter memunyai
santapan dan kebahagiaanya masing-masing. Kebahagian hewan terletak pada makan,
minum, tidur, dan senggama. Kebahagiaan binatang buas terletak pada menghantam
dan menyerang mangsanya, dan kebahagiaan setan terletak pada perbuatan tipu
menipu, menganiaya dan memperdayakan. Sedangkan kebahagian malaikat terletak
pada musyahadah (penyaksian) hadirat Illahi (Al-Ghazali, diterjemahkan
oleh Mustafa Bisri, 2003). Lalu muncul pertanyaan, di mana kebahagiaan manusia
berada?
Jika manusia berada pada anasir malaikat, kebahagian manusia
berada pada tingkat musyahadah (penyaksian) terhadap Zat Yang Mahaagung
dan Mahaindah, melepaskan diri dari belenggu nafsudan angkara murka. Dalam
konteks ini, manusia harus mengenal dirinya sendiri, memahami asal muasal
penciptaan manusia sehingga mampu mengenal jalan menuju hadirat Illahi.
Sebagaimana sabda Nabi saw, "Man 'arafa nafsahu faqad 'arafa
rabbahu" (Barangsiapa telah mengenal dirinya sendiri, maka ia akan
mengenal Allahnya). Tidak ada sesuatu yang lebih dekat kepada diri kita selain
kita sendiri. Jika kita tidak mengenal diri kita. bagaimana mungkin dapat
mengenal Allah, Zat Yang Mahahalus.
Jika kita ingin mengenal diri kita, ketahuilah bahwa kita terdiri
dari dua hal, yaitu hati dan apa yang dinamakan dengan jiwa, ruh. Ruh (nyawa)
manusia selalu mengikuti dan mengiringi apa pun. Mengetahui hakikat serta
mengenal sifat-sifat diri kita merupakan kunci bagi mengenal Allah swt. Oleh
karena itu, kita harus melakukan mujahadat (berjuang) hingga dapat
mengenali ruh (nyawa). Ruh merupakan unsur mulia dan anasir malaikat yang
sumber asalnya adalah hadirat Illahi. Dari tempat itu dia dating dan
kepada-Nyalah dia akan kembali (Al-Ghazali, 2003: 45).
Jadi, kita sangat sulit mengenal ruh yang sesungguhnya sebab ruh
adalah urusan Allah. Seperti firman Allah swt,
tRqè=t«ó¡our Ç`tã Çyr9$# ( È@è% ßyr9$# ô`ÏB ÌøBr& În1u !$tBur OçFÏ?ré& z`ÏiB ÉOù=Ïèø9$# wÎ) WxÎ=s% ÇÑÎÈ
Dan mereka
bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan
Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. Al-Israa': 85). Oleh karena itu, ruh merupakan bagian dari
keseluruhan kekuasaan Ilahi dan termasuk 'alamul amri (kawasan wewenang
Allah). Allah swt berfirman,
3 wr& ã&s! ß,ù=sø:$# âöDF{$#ur 3 x8u$t6s? ª!$# >u tûüÏHs>»yèø9$# ÇÎÍÈ
"Ingatlah penciptaan dan weuenang
hanyalah hak Allah" (QS. Al- Araf: 54).
Jadi, ruh adalah wewenang Allah dan tidak ada manusia yang tahu hakikat ruh
yang sesungguhnya.
Sementara sebagian orang beranggapan bahwa ruh adalah sesuatu yang
qadim, dan yang lainnya beranggapan bahwa ruh itu adalah gejala
('aradl). Mereka semua keliru karena gejala tidak bisa berdiri sendiri. Ia
sangat bergantung dan atau mengikuti pada yang lainnya. Ruh adalah asal
manusia, sedang raga manusia mengikutinya. Lalu bagaimana ia dikatakan gejala
('aradl)? Ada pula yang berpendapat bahwa ruh itu adalah jisim (jasad,
tubuh). Mereka juga keliru karena jisim dapat dibagi. Ruh yang kita
sebut hati dan menjadi tempat ma'rifatullah, bukanlah jisim atau
gejala ('aradl), melainkan termasuk jenis malaikat (Al-Ghazali, 2003). Malaikat
yang mana? Apakah malaikat yang sepuluh yang kita kenal atau malaikait yang
tidak disebutkan Allah dalam Al-Quran? Ini juga perlu mendapat kajian yang
mendalam.
Dengan demikian, amatlah susah mengenal ruh itu karena didalam
ajaran agama tidak ditemukan suatu cara untuk mengenalinya. Artinya, membahas
masalah ruh adalah unik, ajaib dan mengagumkan. Juga rabbani, di mana seluruh
kekuatan akal manusia tidak akan mampu untuk mengetahui substansi dan hakikat
ruh yang sebenarnya.
Filsafat tentang manusia terfokus pada filsafat jiwa (ruh). Jiwa
sebagai intisari dari eksistensi manusia. Manusia tanpa jiwa bukanlah manusia
yang bisa bereksistensi (hidup), melainkan manusia yang telah menjadi mumi atau
bangkai yang tidak bermakna. Oleh karenaitu, bagian yang terpenting dalam diri
manusia adalah jiwa. Namun, jiwa tidak banyak disinggung atau dijelaskan dalam
Al-Quran atau hadis Nabi sebab jiwa (ruh) dalam pandangan Islam adalah urusan
Allah. Manusia tidak punya kapasitas untuk mengurus masalah jiwa.
Menurut para filsuf Islam, Al-Quran menegaskan bahwa manusia tidak
akan bisa mengetahui hakikat ruh karena ruh adalah urusan Allah, bukan urusan
manusia. Tetapi, sungguh pun demikian, para filsuf Islam membahas soal ini
berdasarkan pada filsafat tentang ruh yang mereka jumpai dalam filsafat Yunani.
Al-Kindi (Nasution, 1986: 17) menyatakan bahwa ruh tidak tersusun (basithah,
simple, sederhana), tetapi mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia.
2.Qalb
Qalb dalam
pandangan Nina sama seperti qalb dalam konsep Al-Ghazali, bahwa qalb memiliki
dua makna yaitu:
a. daging yang berbentuk sanaubar (hati), yang terdapat di bagian
kiri dada, dimana yang didalamnya terdapat rongga yang berisi darah hitam.
Dalam rongga itulah terletak sumber atau pusat ruh (Al-Ghazali 2003, 83)
b. Sesuatu yang sangat halus (al-lathifah), tidak kasat mata dan
tidak dapat diraba. Untuk mengenal Allah, hati mem erlukan kendaraan dan beka
l. Kendaraannya adalah badan dan bekalnya adalah ilmu. Sementara itu yang dapat
mengantarkan dan memperoleh bekal adalah kebaikan. Bagi seorang hamba, ia tidak
mungkin sampai kepada Allah swt selama dirinya tidak meningg alkan
kecenderungan-kecenderungan syahwat dan melampaui kehidupan dunia.
Dalam rongga terletak sumber atau pusat ruh (Al-Ghazali, 20033:
83). Al-Ghazali tidak membahas bentuk lahir dan bagaimana daging sanaubar karena
hal itu merupakan tugas para dokter. Di samping itu, organ hati tidak hanya
dimiliki oleh manusia, tetapi juga dimiliki oleh binatang, bahkan juga masih
melekat di tubuh orang yang sudah mati. Karena istilah qalb dalam
pandangan Al-Ghazali bukanlah organ hati, ia hanyalah sepotong daging yang
tidak berharga. Daging dapat diraba, dan dilihat oleh indra penglihatan hewan
sekali pun.
Sesuatu yang amat halus {al-Lathifah), tidak kasat mata dan
tidak dapat diraba. Ia bersifat rabbani-ruhani, di mana makna sifat ini
berbeda dengan qalb pada makna pertama. Hati dalam arti al-Lathifah ini
merupakan jati diri dan hakikat manusia. Dia memunyai potensi untuk mengenal,
mengetahui dan mengerti tentang sesuatu. Ia juga sebagai pihak yang di ajak
bicara, yang dikenakan sanksi, kepercayaan dan objek yang akan dimintai
pertanggungjawaban.
Pembahasan lebih rinci masalah hati dalam arti lathifah sedapat
mungkin dihindari oleh Al-Ghazali, mengingat dua hal, yang salah satunya
terkait dengan ilmu mukasgafah (dapat melihat sesuatuyang gaib), dan
yang demikian ini di luar maksud pembahasan Al-Ghazali. Tetapi Al-Ghazali
membatasi hanya pada limu-ilmu mu'amalah, yakni pengetahuan yang
berkaitan dengan interaksi antar sesama manusia (al-Ghazali, 2003:84).
Hati (qalb) memiliki dua macam tentara: (a) tentara hati
yang dapat dilihat dan kasat mata; dan (b) tentara hati yang hanya dapat
dilihat oleh mata hati (al-.Bashirah).Hati ibarat seorang raja, dan
tentara-tentaranya sebagai pembantunya. Adapun tentara hati yang dapat dilihat
dan kasat mata, seperti: tangan, kaki, mulut dan seluruh anggota lahiriah
lainnya. Mereka adalah pembantu-pembantu yang selalu tunduk kepadanya. Hati
sebagai penggerak dan pengemudi, seluruh anggota tubuh manusia yang sengaja
diciptakan oleh Allah swt diperintahkan untuk tunduk dan patuh kepada hati
(al-Ghazali,2003: 93). Ketika hati memerintahkan mata untuk bergerak,
terbukalah mata itu; memerintahkan kaki untuk bergerak.
Sejalan dengan itu, secara fungsional tentara hati itu memiliki
tiga fungsi.
Pertama,
sebagai motivator. Tentara jenis ini adakalanya mendorong manusia untuk
mendapatkan hal-hal yang bermanfaat dan yang cocok baginya, seperti syahwat.
Adakalanya untuk menepis kemudaratan, seperti emosi atau amarah. Ia adakalanya
disebut juga keinginan atau kehendak (iradat). Kedua, sebagai penggerak (motorik)
seluruh anggota tubuh guna mencapai tujuan-tujuannya. Tentara jenis ini
adakalanya disebut al-Qudrah (kemampuan), yang tersebar di seluruh
anggota tubuh, terutama di dalam otot-otot dan urat-urat. Ketiga, sebagai
pengenal, instrumen yang dapat mengenal sesuatu. Bagi hati, ia bagaikan
mata-mata (spionase). Fungsi ini diperankan indra penglihat, indra
pendengar, indra peraba, indra perasa, dansebagainya yang tersebar pada anggota-anggota
tubuh tertentu. Fungsi tentara jenis ini adakalanya disebut instrument pengetahuan
( al-lld) dan pencerahan (al-Idrak) (Al-Ghazali, 2003: 93).
3.Aql
Kata akal
memiliki beberapa arti antara lain sebagai pengetahuan tentang hakikat sesuatu,
dimana ia sebagai sifat dari ilmu dan bertempat di hati, sebagai bagian dari
manusia yang memiliki kemampuan untuk menyerap ilmu pengetahuan.Dalam setiap
diri seseorang terdapat unsure pengetahuan yang menempati bsebuah wadah, dan
pengetahuan itu merupakan sifat yang melekat pada wadah tersebut.
Kata 'aql
memiliki beberapa arti. Pertama, sebagai pengetahuan tentang hakikat
sesuatu, di mana ia sebagai sifat dari ilmu dan bertempat di hati. Kedua, sebagai
bagian dari manusia yang memiliki kemampuan untuk menyerap ilmu pengetahuan,
dan ini adalah hati {qalb) itu sendiri (al-Lathifah). Dalam
setiap diri seseorang terdapat unsure pengetahuan yang menempati sebuah wadah,
dan pengetahuan itu merupakan sifat yang melekat pada wadah tersebut. Walaupun
ilmu pengetahuan itu tidak identik dengan wadah yang memunyai istilah 'aql, bisa
juga dimaksudkan sebagai sifat yang melekat dalam diri orang yang
berpengetahuan dan bisa juga dimaksudkan untuk menyebut wadah yang menjadi
tempat pengetahuan itu. Barangkali itulah yang dimaksud dalam sabda Rasulullah
saw, "Awwala ma khalaqallahu" (Makhluk pertama yang diciptakan
oleh Allah swt adalah akal).
Ilmu
pengetahuan itu adalah sesuatu yang bersifat al-Ardh (aksiden, benda),
dan ia tidak dapat digambarkan sebagai makhluk pertama. Karena seharusnya
terdapat tempat dari ilmu itu sendiri sebelumnya, atau paling tidak bersamaan
dengannya, sekali pun tidak terjadi bahwa perintah terhadap akal itu bersamaan
dengan terjadinya akal itu sendiri. Dalam kelanjutan sebuah hadis Qudsi, Allah
swt berfirman kepada akal, "Menghadaplah, maka ia pun menghadap".
Kemudian diperintahkan kepadanya," Pergilah", lalu ia
punpergi..."(Al-Ghazali, 2003: 89).
4.Nafs
Kata nafs
memiliki beberapa persamaan seperti: nafsu, seksual, jiwa, dan sebagainya. Namun
dalam konteks pembahasan ini, Al-Ghazali hanya membatsi pada dua makna. Pertama,
meliputi: kekuatan emosi, amarah, dan syahwat yang terdapat dalam diri manusia.
Persoalan ini lebih rinci akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya, mengingat
istilah ini banyak digunakan oleh kalangan sufi. Menurut mereka, nafsu merupakan
sumber dominan yang cenderung melahirkan sifat-sifat tercela dalam diri manusia.
Untuk itu, menurut mereka, nafsu harus diperangi dan dipatahkan, sebagaimana disyaratkan
oleh Rasulullah saw. "Yang harus lebih dimusuhi di antara musuh-musuhmu adalah
jiwamu (nafsumu) yang terdapat di antara kanan dan kirimu."
Kedua, al-Lathifah seperti
yang telah dibicarakan sebelumnya. Ia adalah sesuatu yang abstrak, yang
membentuk diri manusia, yakni jiwa manusia (an-Nals al-Insani) dan esensinya.
Jiwa manusia yang dimaksudkan di sini adalah konstruksi dari sifat-sifat nafsu yang
cenderung berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan kondisi yang membangunnya. Jika
jiwa manusia itu tenang, berada di bawah kendali perintah Allah swt, ia mampu menyingkirkan
goncangan-goncangan yang diakibatkan daya tarik syahwatnya. Jiwa semacam itu
dinamakan dengan jiwa yang tenang (an-Nals al-Muthmainah). Dalam konteks
ini, Allah berfirman,
$pkçJr'¯»t ߧøÿ¨Z9$# èp¨ZÍ´yJôÜßJø9$# ÇËÐÈ ûÓÉëÅ_ö$# 4n<Î) Å7În/u ZpuÅÊ#u Zp¨ÅÊó£D ÇËÑÈ
Wahai jiwa yang tenang, kembalilah
kepada Allahmu dengan rela dan direlakan (QS.Al-Fajr:
27).
Nafs pada makna yang pertama
tersebut sebelumnya (baca: negatif) sulit dibayangkan akan kembali kepada Allah
swt, bahkan ia dijauhkan sejauh-jauhnya dari- Nya, dan digolongkan dalam
kelompok setan. Jiwa yang selalu gelisah karena selalu berseberangan dengan gejolak
syahwatnya, dinamakan jiwa yang senantiasa mengecam (an-Nafs al-Lawwamah).
Sebaliknya, jika jiwa itu membiarkan pengembaraan syahwatnya dan
tunduk kepada bisikan setan, dinamakan jiwa amarah (an-Nafs al-Amarah), yakni
jiwa yang selalu mengajak kepada keburukan.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa nafsu amarah adalah nafsu
dalam arti yang pertama, sebagai nafsu yang tercela. Sedangkan nafsu dalam arti
yang kedua adalah terpuji karena ia adalah jati diri dan esensi manusia, yang memiliki
kemampuan untuk mengenal Allah swt lebih jauh. Keempat dimensi inilah yang
menjadi landasan Ninauntuk mengembangkan komunikasi transcendental.